PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU
(STUDI KASUS NAGARI TAEH BARUAH
KECAMATAN PAYAKUMBUH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA SUMATERA BARAT)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Masalah
Adat bersandi syara-syara bersandi Kitabullah, ini
merupakan filosofi yg dimiliki masyarakat Minagkabau sebagai salah satu suku
yang mayoritas menempati wilayah bagian barat pulau Sumatera Indonesia.
Dalam Tambo sebagai suatu sejarah tradisional
Minangkabau dijelaskan bahwa alam
Minangkabau secara geografis terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan Luhak Nan Tigo dan Rantau[1].
Luhak Nan Tigo terletak di pedalaman
yang merupakan tempat asal orang Minangkabau. Karena terletak di pedalaman,
maka Luhak Nan Tigo disebut juga sebagai darek atu darat yang merupakan kawasan
pusat atau inti dari wilayah Minangkabau, sedangkan Rantau adalah daerah
pinggiran atau daerah yang mengelilingi kawasan pusat tersebut.
Luhak Nan Tigo terdiri dari tiga bagian, yaitu Luhak
Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Dalam Perkembangan
sejarahnya, Rantau pada mulanya merupakan daerah kolonialisasi tempat orang
Minangkabau merantau. Akhirnya Rantau berkembang menjadi pemukiman yang
terpisah dari kawasan pusat. Tetapi secara cultural, daerah Rantau tetap
menghubungkan diri dengan kawasan pusat. Sehingga di alam Minangkabau berlaku
adat yang sama yang telah disusun oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk
Katumangguangan.
Kekuasaan antara Luhak dengan Rantau diungkapkan
dalam pepatah adat yang berbunyi Luhak Bangulu, Rantau Barajo. Dimana artinya
adalah kekuasaan di Luhak adalah penghulu-penghulu sedangkan di Rantau adalah
dikuasakan kepada raja-raja kecil, artinya Luhak terdiri dari Wali Nagari yang
mewakili pemerintahan yang berdiri sendiri.
Nagari
adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayanh
tertentu, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Bersandi Syara’, Syara’
Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiaadat setempat
dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat.
Pada awalnya Nagari di Minangkabau telah mempunyai
Limbago atau Lembaga sebagai institusi yang mengatur kehidupan masyarakat nagari
dalam bidang adat, budaya, hukum, ekonomi, pertanian, social, pemerintahan, dan
agama. Limbago itu disebut dengan Tungku Tigo sjarang yang terdiri dari Ninik
Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai.
Secara Historis pemerintahan Nagari merupakan sebuah
pemerintahan tradisional yang diperintah oleh para penghulu suku yang memiliki
kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat.[2]
Sistem pemerintahan nagari di wilayah minangkabau diyakini telah diterpakan
jauh sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Tetapi semuanya itu berubah
semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 ketika pemerintahan
Soeharto tentang Pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan system pemerintahan
terendah di seluruh Indonesia.
Maka semenjak 1 Agustus 1983, seluruh nagari yang
ada di Sumatera Barat dileburkan menjadi pemerintahan desa. Jorong yang menjadi
bagian nagari waktu itu langsung dijadikan desa, sehingga nagari dengan
sendirinya menjadi hilang. Pemerintahan desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin
oleh seorang Kepala Desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah
bagian dari kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewnang dan kewajiban pimpinan
pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang
mengangkat melalui Camat, dan memberikan laporan pertanggungjawaban tersebut
kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).[3]
Perubahan ini bukan hanya perubahan nama, tetapi
diantaranya terdapat perbedaan karakter dan spirit yang menyertainya. Nagri
yang berjumlah 543 di Sumatera Barat diubah menjadi 3.138 desa.[4]
Perubahan menjadi desa yang demikian maksudnya agar memperoleh dana bantuan
pembangunan desa (Bangdes) yang lebih banyak dari pemerintahan pusat. Bila
dicermati lebih lanjut, perbedaan antara pemerintahan nagari dan desa dapat
dilihat pertama dalam segi keanggotaan.
Penyebutan bagi LMD sebagai lembaga permusyawaratan
yang didalamnya anggota yang menjadi wakil dari masyarakat dapat menyalurkan
aspirasinya dengan bermusyawarah jelas hanya sebagai obat penawar yang sama
sekali tidak menyembuhkan penyakit apapun. Sebab bersamaan dengan obat penawar
itu sekaligus tersuntik racun yang membinasakan aspirasi masyarakat, karena
Kepala Desa adalah penguasa LMD itu sendiri. Sehingga praktis tidak ada
kekuatan yang mampu berperan sebagai penyeimbang Kepala Desa.
Dengan ketentuan demikian maka tiadak ada control
social dari bawah, bahkan dari samping sekalipun, yang ada hanyalah control
dari atas. Dalam Padal 10 ayat dua Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
pemerintahan Desa disebutkan bahwa “Dalam menjalankan hak, wewenang dan
kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala Desa bertanggungjawab kepada
pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat dan memberikan
pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD)”.
Keanggotaan LMD berbeda dengan keanggotaan Kerapatan
Adat Nagari (KAN). Keanggotaan KAN dipilih dari unsure Ninik Mamak, Alim Ulama,
Cerdik Pandai, Bundo Kanduang (wakil dari tokoh-tokoh perempuan Minangkabau),
utusan Jorong serta utusan pemuda. Keanggitaan KAN diresmikan secara
administrative dengan keputusan Bupati. KAN juga merupakan wahana untuk
melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai mitra pemerintahan nagari.
Perbedaan Sistem Pemerintahan Nagari dengan Sistem
Pemerintahan desa yang kedua yaitu dalam segi pelaksanaan dan kedudukan dalam
pemerintahan. Dari Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok
Pemerintah Nagari dapat disimpulkan bahwa KAN mempunyai kedudukan yang penting
dan berbeda dengan LMD. Pertanggungjawaban Wali Nagari dapatt diminta melalui
KAN dan KAN dapat melakukan funsi pengawasan dalam pelaksanaan Pemerintahan
Nagari. Ini berbeda dengan LMD, yaitu tidak mempunyai peran yang vital dalam
hal keputusan desa dan Kepala Desa hanya menyamoaikan keterangan pertanggungjawaban
kepada LMD.
Dengan
demikian kehadiran Udang-Udang Nomor 22 Tahun 1999, dan spesifik Pereaturan
Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, telah mampu menggeser peran LMD, yang
hanya sebagai sebuah lembaga yang melegitimasi keputusan desa menjadi sebuah
lembaga perwakilan yang mempunyai peran pengawasan terhadap pemerintah di
tingkat yaitu Pemerintah Nagari.
Pengangkatan
seorang dalam struktur jabatan Pemerintah Desa, diawali dengan pengajuan
nama-nama kepada pejabat yang berwenang mengaangkat yakni Sekertaris Desa
diangkat oleh Bupati dan Kepala Urusan diangkat oleh Camat atas nama Bupati,
setelah mendengar pertimbangan dari ketua LMD. Pengangkatan dilakuakan setelah
para calon menempuh seleksi dalam bentuk penyaringan. Hal ini dilakukan untuk menjamin
kualifikasi personalia Pemerintah Desa.
Apabila
dibandingkan dengan satuan staf yang ada dalam Pemerintah Nagari, jumlah aparat
dalam satuan staf pembantu wali Nagari dan memimpin Sekertariat Nagari adalah
Sekertaris Nagari. Selain itu aparat dalam Pemerintah Nagari dilengkapi insur
pelaksana Wali Nagari yang di dalam Pemerintah Desa hal tersebut tidak ada.
Tugas yang
seharusnya dijalankan oleh pelaksana teknis fungsional semasa Pemerintah Desa
dijalankan oleh Kepala Dusun beserta beberapa para staf yang ditetapkan oleh
Kepala Desa. Lebih lanjut mengenai Pemerintahan Nagari, yang dalam struktur
organisasinya memiliki Kepala Jorong, Jumlah Kepala Jorong dalam sebuah nagari
disesuaikan dengan keadaan nagari yang bersangkutan.
Pemerintah
Desa memang telah berjalan sejak tahun 1983 di selurruh Indonesia. Tetapi bagi
kebanyakan daerah umumnya Sumatera Barat khususnya, ternyata Pemerintahan Desa
telah menimbulkan berbagai dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Adapun
dampak dihilangkannya Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat adalah:
1. Jati
diri masyarakat Minangkabau mengalami erosi. Pemahaman dan penghayatan falsafah
adat Minangkabau Adat Basandi syarak, Sayak Basandi Kitabullaj, Syarak Mangato
Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru mengalami degradasi.
2. Anak
Nagari tidak lagi memiliki kewenangan politis. Hubungan erat yang pernah
terjalin antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat adat menjadi
semakin berkurang, bahkan hilang.
3. Hilangnya
batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah. Pembentukan dan pemekaran
desa menyebabkan hilangnya salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitu
mempunyai wilayah denga batas-batas yang jelas.
4. Masyarat
kehilangan tokoh Angku Palo atau Wali Nagari. Fungsinga tidak dapat digantikan
oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari adalah tokoh kharismatik yang sangat
dihormati dan menjadi panutan bagi anak nagari. Wali Nagari tidak hanya
menguasai dan memahami adat istiadat serta taat beragama. Sedangkan kebanyakan
Kepala Desa atau Lurah merupakan orang-orang muda yang kurang paham adat
istiadat setempat. Bahkan ada diantara mereka bukan berasal dari desa setempat.
5. Sistem
Sentralistik yang diterapkan selama pemerintahan Orde Baru sangat mengurangi
nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama seperti gotong-royong,
6. Aspirasi
anak nagari dalam pembangunan kehilangan wdah aslinya yaitu nagari,
7. Generasi
muda Minang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami tentang nagari,
terutama mereka yang tinggal dikota dan rantau,
8. Tungku
Tigo Sajarang dan Tali Tigo Sapilin terpinggirkan dan kehilangan fungsinya.[5]
Dalam
pelaksanaanya Sistem Pemerintahan Desa belum member gambaran yang jelas
terhadap hal-hal yang bersifat umum terutama untuk pelaksanaan fungsi-fungsi
social dalam masyarakat belum tersentuh dalam hal pembinaan adat dan budaya
yang hanya dikelola secara umum, dimana Kepala Desa berfungsi sebagai Pembina
Adat. Kondisi ini telah mematikan fungsi-fungsi social yang ada dalam
masyarakat, termasuk fungsi adat yang kurang berpengaruh dalam pelaksanaan
pemerintahan. Dalam pelaksanaan pemerintahan yang menonjol justru system
pemerintahannya, dan system control social masyarakat tidak ada sama sekali.
Seiring
bergulirnya zaman reformasi yang menuntut diberlakukannya Otonomi Daerah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara
No 60 Tahun 1999. Dan lahirnya Undang-Undang
Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang tersebut.
Maka di Provinsi Sumatera Barat disikapi dengan merespon keinginan masyarakat
(terutama pemuka adat) untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari. Berbagai
tantangan telah dihadapi dalam pelaksanaannya karena sudah tiga puluh dua tahun
masyarakat Sumatera Barat kehilangan Jati di nagari sebagai pusat pemerintahan
terendah.
Pemberlakuan Undang-Undang ini mendapat
sambutan positif dari mayoritas masyarakat di daerah, sebab secara otomatis
daerah diberikan kesempatan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai
dengan potensi yang dimiliki daerahnya. Bahkan daerah juga diberikan wewenang
untuk membentuk dan menentukan sendiri system pemerintah terendah di daerahnya
sesuai dengan karakter daerah masing-masing.
Khusus daerah di Minangkabau yang
menempati wilayah provinsi sumatera Barat, respon atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan pernerapan kembali Sistem Pemerintahn
Nagari dengan semangat “Babaliak ka Nagari” sebagai unit pemerintahan terndah
yang diatu dengan Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Sumatera Barat Nomor 9
Tahun 2000 tentang ketentuan pokok Pemerintahan Nagari dan dirubah sempurna
kembali dalam PERDA Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Pemerintahan Nagari.
Untuk mewujudkan hal diatas maka
ditetapkanlah Pemerintahan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah di seluruh
Kota dan Kabupaten di Sumatera Barat (kecuali Kabupaten Kepualauan Mentawai).
Khusus di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa
menjadi Pemerinthan Nagari maka dituangkanlah dalam Peraturan Daerah Lima Puluh
Kota Nomor 01 Tahun 2001 dan di perbaharui lagi dalam PERDA Lima Puluh Kota
Nomor 10 Tahun 2007 diamana Nagari Taeh Baruah Kecamatan Payakumbuh di
dalamnya.
Setelah resmi dilaksanakan PERDA Kabupaten Lima
Puluh Kota Tentang Pemerintahan Nagari ini, maka secara bertahap dan pasti
seluruh bentuk Sistem Pemeritahan Desa yang diterapkan selama masa Orde Baru
telah berubah menjadi Pemerintahan Nagari. Dalam pelaksanaannya, Sistem
Pemerintahan Nagari dilaksanakan oleh Wali Nagari sebagai pimpinan Eksekutif
yang dibantu oleh Badan Perwakilan Anak Nagari ( BPAN ) sebagai lembaga
Legeslatif. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari ini merupakan bentuk
pelaksanaan otonomi dalam skala kecil, dimana berhak untuk mengatur rumah
tangganya sendiri.
Terlihat bahwa Nagari telah mengalami bongkar pasang
yang sedemikian rupa. Beragamnya kebijakan serta berganti- gantinya peraturan
dan ketentuan menyangkut Nagari dari waktu kewaktu ternyata tidak membawa
dinamika Nagari kearah yang lebih baik. Justru secara mandasar semua peraturan
tersebut telah menyebabkan memudarnya nilai-nilai local adat Minangkabau dalam
masyarakat Nagari yang pada dasarnya demokratis.
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin
mempelajari dan meneliti dalam sebuah diskripsi mengenai Sistem Pemerintahan
Nagari di Minangkabau, terutama mengenai bagaimanakah pelaksanaan Sistem
Pemerintahan Nagari di MInangkabau dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1979 ssampai setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan studi kasus pada Nagari Guguak VIII
Koto yang bergabung dalam Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
Sebagai
sebuah sistem yang di ciptakan oleh manusia, tentu Sistem Pemerintah Nagari
memiliki kendala dan memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, terutama menyangkut
aspek-aspek teknis, maslah kualitas sumber daya manusia ( SDM ) aparat
Pemerintahan Nagari. Bagaimana Sistem Pemerintahan Nagari menjawab masalah
tersebut? Masalah-masalah tersebut diangkat dalam tulisan ini sebagai usaha untuk
membuka wacana menuju pembangunan masyarakat, dengan judul Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau : Studi Kasus pada Nagari Taeh
Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Agar
penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan
data ke dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu dirumuskan
masalahnya. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, peneliti merumuskan
masalah yaitu “ Bagaimanakan Sistem
Pemerintahan Nagari di Minangkabau dengan Studi kasus di Nagari Taeh Baruah
Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat?”.
1.3 BATASAN MASALAH
Dalam
melakukan penelitian ini peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah
yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang
dicapai. Untuk itu, pada penelitian ini hanya membahas masalah :
1. Untuk
mengetahui sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,
2. Untuk
mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
3. Untuk mengetahui pergeseran yang
terjadi dalam Sistem Pemerintaha Nagari dewasa ini,
4. Menganalisis mekanisme pemilihan dan
peran lembaga-lembaga kemasyarakatan yang terdapat dalam Sistem Pemerintahan
Nagari di Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat,
5. Mengidentifikasi kendala-kendala
yang di hadapi Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam
menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari.
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari sebelum berlakunya Undang-undang nomor 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa,
2. Untuk
mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
3. Untuk mengetahui pergeseran yang
terjadi dalam Sistem Pemerintahan Nagari dewasa ini,
4. Untuk mengetahui kendala-kendala
yang dihadapi Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam menerpakan
Sistem Pemerintahan Nagari.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Berangkat dari tujuan penelitian , maka manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara
akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara tentang Pemerintahan Nagari yang diterapkan di wilayah
Minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota
Sumatera Barat, serta dapat menjadi bahan masukan maupun rujukan bagi
penelitian lainnya,
2. Secara
praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
masukan bagi Nagari Taeh Baruah dan pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi dan pelaksanaan Sistem Pemerintahan
Nagari,
3. Secara
pribadi, penelitian ini memberi wawasan yang sangat berarti bagi peneneliti
dalam memahami konsep Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, khisusnya pada
Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.6 KERANGKA TEORI
Kerangka teori membantu
peneliti dalam menentukan tujuan, arah penelitian dan dasar penelitian
penelitian, agar langka yang ditempuh selanjutnya jelas dan konsisten. Menurut
Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk
menerapkan suatu fenomena soasial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan
antara konsep.[6]
Untuk itu diperlukan teori-teori yang mendukung penelitian ini.
1.6.1 Teori
Sistem
Dalam pembahasan ini
kita menggunakan teori Sistem yang dikembangkan oleh David Easton dimana Paine
dan Naumes telah menawarkan suatu modal proses pembuatan kebijakan yang merujuk
pada teori sistem tersebut.[7] Teori
ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan apa yang
terjadi di dalam pembuatan kebijakan.
Konsep ini menunjuk pada masyarakat
yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan
yang otoritatif. Konsep ini menunjukkan adanya saling hubungan antara
elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam
menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh
sistem politik dalam bentuk tuntutan dan dukungan.
Teori ini disusun dari sudut pandang
para pembuat kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya
yang akan menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal
dan eksternal, memuaskan permintaan lingkungan serta secara khusus memuaskan
keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.
Dengan merujuk pada pendekatan
sistem yang ditawarkan Easton, Paine dan Naumes menggabarkan model pembuatan
kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat
kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam
pembuatan kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk
keluaran dan masukan (inputs and outputs). Outputs yang dihasilkan pada
akhirnya akan menjadi bagian lingkungan yang seterusnya akan tetap berinteraksi
dengan lembaga atau para pembuat kebijakan. Paine dan Naumes memodifikasi
pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut teori sistem, kebijakan
politik di pandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap
tuntutan-tuntutan yang timbul. Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil kebijakan,
suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian pertentangan konflik dan
memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu
sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan
hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai subsistem, maka suatu sistem
akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni :
1) Menghasilkan
outputs yang secara layak memuaskan,
2) Menyadarkan
diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri,
3) Menggunakan
atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (otoritas).
Dengan pejelasan yang demikian, maka teori ini
memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap
pembentukan kebijakan. Selain itu, teori ini menyadarkan mengenai beberapa
aspek penting dari proses perumusan kebijakan.
Pemerintahan Daerah Sumatera Barat mengembalikan
Sistem Pemerintahan Desa menjadi Sistem Pemerintahan Nagari dimulai pada awal
Oktober 2000.
Untuk tahap awal 250 dari 543 Nagari yang ada di Sumatera Barat telah memulai
penerapan pemerintahan terendah tersebut. Pada saat itu keseriusan pemerintah
daerah untuk merealisasikan gagasan kembali ke Nagari ramai dibicarakan orang.
Di setiap kesempatan dalam berbagai pertemuan baik formal maupun informal,
apabila hal itu menyangkut soal desentralisasi dan otonomi daerah atau persoalan
lain yang berhubungan dengan Sumatera Barat, ujung-ujungnya adalah kembali ke
Nagari. Istyilah kembali ke Nagari sudah menjadi bahan perbincangan khalayak
ramai yang menarik di perdebatkan.
Hal itu
terus berkembang sehingga menjadi tuntutan terutama dari tokoh adat dan
mendapat dukungan dari manyoritas masyarakat untuk ditanggapi secara serius
oleh pemerintah daerah dan para pembuat kebijakan. Maka semua tuntutan dan
dukungan kembali ke Nagari direspon oleh pemerintah daerah Sumatera Barat dengan
mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah ( RANPERDA ) tentang ketentuan pokok
Pemerintahan Nagari.
RANPERDA
tersebut dibahas dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Sumatera Barat sehingga
melahirkan Peraturan Daerah (PERDA) Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang
Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dan sesuai kebutuhan dan perkembangan,
PERDA tersebut mengalami perubahan dengan dikeluarkan PERDA Nomer 10 Tahun 2007
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari.
Kebijakan
pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam bentuk Peraturan Daerah
(PERDA) tenteng Sistem Pemerintahan Nagari dikeluarkan atas dasar
pengimplemtasian dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan tuntutan “kembali
ke Nagari” di kawasan Minangkabau, khususnya pada Kabupaten Lima Puluh Kota.
Tuntutan kembali ke Nagari tersebut berasal dari tokoh-tokoh adat, alim ulama
dan para cerdik pandai ( yang di kenal denagn tungku tigo sajarangan) yang
kemudian di tanggapi oleh para perumus kebijakan di Kabupaten Lima Puluh Kota
dengan di keluarkan PERDA Nomor 01 Tahun 2001 tentang Sistem Pemerintahan
Nagari di seluruh wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota yang mana Nagari Taeh
Baruah tergabung di dalamnya. PERDA tentang Sistem Pemerintahan Nagari pada
awalnya merupakan salah satu bentuk dari pengimplementasian desentralisasi yang
di wujutkan dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan di keluarkannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang berlaku efktif pada permualaan 2001
tentang Pemerintahan Daerah.
Respon
terhadap Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut berlanjut dengan di
wujudkannya penerapan Sistem Kembali ke Nagari di wilayah Sumatera Barat yang
diatur dalam PERDA Nomor 09 Tahun 2000 tentang ketentuan pokok Pemerintahan
Nagari. Kemudian PERDA tingkat provinsi Sumatera Barat ini diteruskan dengan
PERDA Nomor 01 Tahun 2001 di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota lalu kemudian
direvisi kembali dengan PERDA Nomor 10 Tahun 2007
Namun
berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dan di pandang
perlu adanya penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi maka PERDA Provinsi
Sumatera Barat Nomor 09 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
diganti menjadi PERDA Provinsi Sumatera Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang
Pokok-pokok pemerintahan Nagari.
Adapun
mekanisme perumusan RANPERDA menjadi PERDA tentang Sistem Pemerintahan Nagai
Khusus di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah diawali dengan respon terhadap
disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal
tersebut telah member peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menyesuaikan
bentuk dan susunan pemerintahan terendah
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang bersifat istimewa di
daerah Sumatera Barat pada umumnya dan Kabupaten Lima Puluh Kota pada khusunya
adalah Nagari.
Dengan
latar belakang itulah maka diterapkanlah Pemerintahan Nagari sebagai unit
pemerintahan terendah di Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan
Desa. PERDA kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 dirumuskan sebagai
tindakan lanjut dari PERDA Provinsi Sumatera Barat Nomer 09 Tahun 2000 tentang
ketentuan Pokok Pemerinataha Nagari.
Pada
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 69 menyebutkan bahwa “Kepala Daerah
menetapkan PERDA atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan penjabaran dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.[8]
Berdasarkan pasal tersebut maka Usulan Rancangan suatu PERDA dapat diajukan
oleh Kepala Daerah ( bagian Hukum dan Dinas-dinas) dan disamping itu DPRD pun
berhak mengajukan RANPERDA sebagai implementasi dari hak prakarsa atau hak
inisiatif yang dimiliki DPRD yaitu yang diusulkan kelompok sesuai Tat Tertip
DPRD dan tergantung kepada kemampuan anggota tersebut.
DPRD
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Peraturan Daerah
dibaha oleh DPRD beserta Bupati atau pemerntah Daerah untuk mendapat
persetujuan bersama.RANPERDA yang sudah disetujui bersama, paling lambat 7
(tujuh) hari kerja di sampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati untuk disahkan
menjadi PERDA. Apabiala setelah 15 (lima belas) hari kerja, RANPERDA yang sudah
disampaikan kepada Bupati belum disahkan menjadi PERDA, pimpinan DPRD mengirim
surat kepada Bupati untuk meminta penjelasan. Apabila RANPERDA yang sudah
disetujui bersama tidak disahkan oleh Bupati dalam waktu paling lambat 30 (tiga
piluh) hari sejak RANPERDA tersebut disetujui bersama, RANPERDA tersebut sah
menjadi PERDA dan wajib diundangkan.
Rancangan
PERDA yang telah disahkan dalam Sidang DPRD, dikembalikan kepada Kepala Dareah
untuk ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran Daerah, setelah diundangkan
dalam Lembaran Daerah PERDA tersebut sudah wajib dilaksanakan oleh pemerintahan
Daerah (PEMDA). Dalam PERDA tersebut juga telah diatur semua hal yang berkenaan
dengan Sistem Pemerintahan Nagari.
1.6.2 Bentuk-bentuk Pemerintahan
C.F Strong telah mengemukakan
beberapa criteria dalam melihat bentuk Negara, yaitu :
a. Melihat Negara dalam bagaimana
bangunannya, apakah Negara Kesatuan atau Negara Serikat,
b. Melihat bagaimana konstitusinya,
c. Melihat badan eksekutif, apakah
bertanggung jawab kepada parlemen atau tidak, dan badan eksekutif yang telah
ditentukan jangka waktunya,
d. Melihat badan perwakilannya,
bagaimana penyusunannya dan siapa yang berhak duduk disitu, serta
e. Bagaimana hokum yang berlaku.[9]
Untuk itu
ada beberapa para ahli dalam menentukan bentuk suatu Negara. Plato mengemukakan
lima bentuk pemerintahan Negara, yaitu :
1) Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh kaum cendikiawan yang di laksanakan esuai dengan keadilan,
2) Timokrasi, yaitu pemerintahan
dipegang oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyuran dan kehormatan,
3) Oligarkhi, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh golongan hartawan,
4) Tirani, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh seseorang tiran (sewenang-wenang) sehingga jauh dari cita-cita
keadilan.[10]
Setelah
Plato, Aristoteles membadakan bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang
memerintah dan menurut orang yang berkualitas pemerintahannya, yaitu :
1) Monarkhi, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh satu orang dan demi kepentingan umum,
2) Tirani, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh seseorang demi kepentingan pribadi,
3) Aristigrasi, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya,
4) Demokrasi, yaitu pemerintaha yang
dipegang oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum.[11]
Teori
bentuk-bentuk Negara ini menjadi patokan dalam melihat bagaimana sebenarnya
yang menjadi bentuk dari sistem pemerintahan Nagari yang diterapkan diwilayah
Minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah.. Nagari
Taeh Baruah yang
manyoritas menganut kelarasan Bodi Caniago dan sebagian kecil menganut
kelarasan Koto Piliang telah mempengaruhi penerapan Sistem Pemerintahan Nagari,
khususnya dalam hal pemilihan wali Nagari dan ninik Mamak selaku kepala suku atau penghulu. Untuk
lebih jelas semuanya itu penulis bahas dalam BAB Analisis Data.
Teori
bentuk-bentuk Negara ini menjadi patokan peneliti dalam melihat bagaimana
sebenarnya yang menjadi bentuk dari sIstem pemerintahan nagari yang diterapkan
di wilayah minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah. Nagari Taeh Baruah
yang mayoritas menganut kelarasan bodi chaniago dan sebagian kecil menganut
kelarasan koto Piliang telah mempengaruhi penerapan sistem pemerintahan nagari,
khususnya dalam hal pemilihan Wali Nagari dan Ninik Mamak selaku Kepala Suku
atau Penghulu. Untuk lebih jelas semuanya itu penulis bahas dalam BAB Analisa
Data.
1.6.3 Sistem
Pemerintahan Desa
Semenjak
tanggal 1 agustus 1983, di Indonesia telah diterapkan Undang-undang nomor 5
tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.[12]
Pemerintahan desa yang berasal dari Budaya jawa dipimpin oleh seorang kepala
desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah
kecamatan. Dalam menjalankan Hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan
desa, kepala desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat
melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada
Lembaga Musyawarah Desa (LMD).[13]
1.6.4 Sistem
Pemerintahan Nagari
1.6.4.1 Nagari
Kata
nagari berasal dari bahasa sanskerta yaitu “Nagari”, yang dibawa oleh bangsa
yang menganut agama Hindu. Bangsa itu pulalah yang menciptakan pembagian nagari
serta menentukan pembagian suku-suku diantara mereka. Nagari-nagari kecil itu
merupakan suatu bentuk Negara yang berpemerintahan sendiri.[14]
Menurut A.A Navis menyatakan pengertian nagari sebagai
suatu pemukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang
sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan penghulu pucuk
(penghulu tua) selaku pimpinan pemerintahan tertinggi.[15]
M.Amir
Sutan menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai asal-usul nagari diberikan
oleh ahli adat De Rooy. Dia menulis bahwa nagari yang tertua adalah nagari
Pariangan Padang Panjang. Dari Pariangan Rakyat mengembara kemana-mana dan
mendirikan tempat tinggal baru yang akhirnya membentuk sebuah kampung.
Perkampungan ini
disebut dengan Taratak, kemudian taratak berkembang menjadi Dusun,
dusun berkembang menjadi Koto, dan Koto berkembang menjadi Nagari.[16]
A.A
Navis menguraikan Nagari yang empat itu sebagai berikut :
1) Taratak
Yaitu
pemukiman paling luar dari kesatuan Nagari yang juga merupakan perladangan
dengan berbagai hunian didalamnya. Pimpinannya disebut Tuo (Tua/Ketua), belum
punya penghulu oleh sebab itu rumah-rumahnya belum boleh bergonjong.
2) Dusun
Merupakan
pemukiman yang telah banyak jumlah penduduknya, telah mempunyai tempat
beribadah, rumah gadang dua gonjong tetapi belum mempunyai penghulu dan
pimpinan pemerintahannya disebut Tuo Dusun.
3)
Koto
Koto
merupakan pemukiman yang telah mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti Nagari
dan pimpinan terletak ditangan Penghulu, tetapi balairungnya tidak
mempunyai dinding.
4) Nagari
Yaitu
pemukiman yang memiliki alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami
sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk sebagai
pimpinan pemerintahan yang tertinggi.[17]
Setiap pendirian sebuah nagari memiliki empat syarat
yang di ungkapkan dalam sebuah pepatah adat yang berbunyi “Nagari kaampek suku, dalam suku
babuah paruik, kampuang nan batuo, rumah batungganai” (nagari berempat
suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua dan rumah bertungganai). Artinya
yaitu setiap nagari yang didirikan harus terdiri dari :
1. Mempunyai
empat buah suku,
2. Setiap
suku mempunyai beberapa buah perut (kaum dari turunan Ibu),
3. Mempunyai
penghulu suku yang akan menjadi pemegang pemerintahan nagari secara kolektif,
4. Rumah
batungganai yaitu mempunyai kepala kaum yang disebut dengan penghulu kaum dari
keluarga yang mendiami suatu rumah menurut stelsel matrilineal.[18]
Dari hukum adat diatas telah dituangkan dalam
Undang-undang nagari tentang syarat pendirian sebuah nagari, yaitu :
1. Mempunyai
sedikit empat suku,
2. Mempunyai
balairung untuk bersidang,
3. Mempunyai
sebuah masjid untuk beribadah,
4. Mempunyai
tepian untuk mandi.[19]
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikemukakan
secara kongkrit bahwa nagari merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang
hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat minangkabau yang mempunyai
batasan-batasan alam yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai
aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah
mufakat. Dilihat dari struktur wilayahnya, maka suatu nagari terdiri dari
beberapa jorong yang dikepalai oleh wali jorong yang bertanggung jawab pada
wali nagari.
1.6.4.2 Jorong
Jorong merupakan unit-unit lingkungan kerja
pelaksanaan pemerintahan nagari. Jorong umumnya merupakan bekas desa yang ada
dalam wilayah suatu nagari, namun tidak menutup kemungkinan desa dipecah
menjadi beberapa jorong jika bekas desa tersebut memiliki wilayah yang luas
atau atas dasar pertimbangan jumlah penduduk.
1.6.4.3
Pemerintahan Nagari
Secara historis pemerintahan nagari merupakan suatu
pemerintahan tradisional yang di perintah oleh penghulu-penghulu suku yang
memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan
adat. Penghulu-penghulu tersebut dibantu oleh para manti (orang cerdik yang
dipercaya oleh penghulu), malin (alim ulama), dan dubalang
(hulubalang/keamanan).[20]
Pemerintahan nagari sebagai pemerintahan terendah
yang menggantikan pemerintahan desa merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
dalam daerah provinsi Sumatera Barat. Terdiri dari himpunan beberapa suku yang
mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri,
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan
pemerintahannya.
Dalam Otonomi daerah unsur-unsur yang memimpin
pemerintahan nagari adalah ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan bundo
kanduang. Unsur-unsur tersebut terhimpun dalam lembaga-lembaga yang ada di
nagari seperti Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), Badan Musyawarah Adat dan
Syarak (BMAS) sebagai badan yang memberikan saran dan nasehat kepada wali
nagari. BMAS mendapatkan masukan dari dua lembaga yaitu Lembaga Adat Nagari
(LAN) dan Lembaga Syarak Nagari (LSN). sementaritu wali nagari dalam
menjalankanan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris dan beberapa staff yaitu
Kaur Nagari Bidang Pemerintahan, dan Kaur Nagari Bidang Pembangunan.
Dalam arti luas keseluruhan badan
pengurus nagari dengan segala organisasinya, segala bagian-bagiannya, segala
pejabat-pejabatnya di nagari, seperti : Wali Nagari, BPAN, wali Jorong, Badan
Musyawarah Adat Syarak Nagari (BMASN) dan LAN. Sedangkan Dalam arti sempit
pemerintahan nagari berarti suatu badan pimpinan yang terdiri dari seorang atau
beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam pelaksanaan
tugas nagari seperti Wali Nagari dan perangkat nagari, kepala urusan dan kepala
jorong (desa).
1.6.5
Kepemimpinan Tungku Tigo Sejarangan dan Tali Tigo Sapilin
Tungku Tigo Sajarangan adalah
lambang dari tiga unsur kepemimpinan di minangkabau, yaitu ninik mamak, alim
ulama dan cerdik pandai (Cadiak Pandai). Sedangkan tali tigo sapilin mengacu
pada tiga landasan sebagai tempat berpijak bagi tungku Tigo Sajarangan. Dimana
ketiga landasan tersebut adalah ketentuan adat yang menjadi pegangan Ninik
Mamak, hukum agama atau syarak sebagai pegangan para alim ulama, dan
Undang-undang yang menjadi pegangan atau landasan berpijak para Cerdik Pandai
(Cendikiawan).[21]
1.6.5.1
Ninik Mamak
Ninik mamak adalah fungsional adat.
Jabatan penghulu adalah sebagai pemegang gelar Datuk secara turun temurun menurut garis keturunan ibu dalam sistem
matrilineal. Prinsip kepemimpinannya adalah apabila setiap persoalan yang
tumbuh dalam kaum, suku dan nagari dapat dicari pemecahannya melalui musyawarah
dan mufakat. Penyelesaian dilakukan dengan cermat sehingga tidak seorang pun yang
merasa menang atau kalah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya adalah dari Ninik turun ke mamak,dari mamak turun ke
kemanakan, patah tumbuh hilang berganti. Kemenakan yang berhak menerima
warisan itu adalah kemenakan dibawah
dagu, yaitu kemenakan yang mempunyai pertalian darah. Namun ada dua
pendapat dalam hal pewarisan gelar ninik mamak sesuai dengan aliran kelarasan
yang dianutnya, yaitu :
1.
Warih
dijawek, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan
ninik mamak adalah kemenakan langsung yaitu anak laki-laki dari saudara
perempuan. Sistem ini dianut oleh kelarasan koto piliang,
2.
Gadang
bagilia, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan
penghulu yaitu semua laki-laki warga kaum dengan cara bergeliran antara mereka
yang seasal usul. Sistem ini dianut oleh kelarasan bodi caniago.[22]
Adapun syarat-syarat atau kriteria
seorang laki-laki untuk dapat dipilih menjadi seorang ninik mamak adalah :
1. Seseorang
dipilih menjadi ninik mamak karena dipandang memiliki kepribadian yang terus
berkembang, berilmu, dan mempunyai wawasan yang luas. Calon ninik mamak
tersebut mempunyai kelebihan dari yang lainnya, mempunyai kemampuan dan
kapabilitas. Dia juga mempunyai wibawa, disegani anak kemenakan, kukuh dengan
pendirian, tidak terombang-ambing, dan solid,
2. Tinggi dek dianjuang, gadang
dek diambak, artinya ada persetujuan bersana
atau ada kesepakatan untuk mengangkatnya jadi ninik mamak.[23]
1.6.2
Alim Ulama
Alim ulama adalah fungsional agama
dalam masyarakat. Prinsip kepemimpinannya adalah tahu sah dengan Batal, tahu
halal dengan haram, melaksanakan perintah dan menjauhi perintah Allah dan Rasul
karena adat minangkabau adalah adat islami, adat bersendi syarak, syarak
bersendi kitabullah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya mengaji sepanjang
kitab, kitab datang dari Allah, Sunnah datang dari Rasul. Pada hakikatnya, alim
ulama berdiri dipintu syarak (agama islam).
Pada abad ke-18, didaerah
minangkabau tumbuh dan berkembang surau-surau sebagai pusat pengkajian, ilmu,
dan politik. Surau sebagai lembaga pendidikan dan pusat kaum terpelajar dalam
menuntut ilmu agama yang berkaitan dengan kehidupan kemansyarakatan. Setelah
menamatkan pelajarannya, mereka kembali ke nagari sebagai Alim Ulama dengan
ketentuan dipandang taat beribadah, rajin ke surau, dan mampu membimbing masyarakat
untuk taat beragama. Dewasa ini unsur alim ulama lahir ditengah masyarakat yang
merupakan tamatan pesantren, madrasah, perguruan tinggi agama islam, dan lain
sebagainya.[24]
1.6.5.3
Cerdik Pandai
Cerdik pandai (Cadiak Pandai) adalah
fungsional masyarakat dibidang ilmu pengetahuan dalam arti yang luas. Dalam
kenyataan sehari-hari, cerdik pandai adalah orang yang menguasai ilmu, baik
ilmu adat, ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan. Pada awalnya para cerdik pandai
adalah warga nagari yang berprofesi sebagai guru, kerani (juri tulis kantor),
dan lain-lain. Orang-orang tersebut dipandang berpengetahuan lebih dibanding
masyarakat awam dan terbiasa dengan menulis dan membaca.[25]
Orang tersebut dibawa ikut berunding
dalam memecahkan berbagai masalah di nagari. Mereka paham dengan undang-undang
dan peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bersama sebagai bangsa
dan bernegara. Ketika perkembangan pendidikan sudah lebih maju telah melahirkan
orang-orang pandai dan para cendekiawan sebagai unsur Tungku Tigo Sajarangan.
1.6.6 Beberapa Jenis
Sistem Pemerintahan Local di Indonesia
Selain Sistem Pemerintahan Nagari
di Minangkabau, juga ada beberapa wilayah di Indonesia yang juga mempunyai
sistem pemerintahan terendah tersendiri, yaitu diantaranya dijawa, Madura, dan
bali disebut desa, di sumatera di sebut Kampung, Huta, Nagari, di Kalimantan
disebut Tumenggungan, di Sulawesi ada Wanua, Distrik, Pekason, di Nusa Tenggara
Barat disebut Banjar, Lomblan, di Nusa Tenggara Timur disebut, Laraingu,
Kenaitan, Keftaran, Kedatoan, Kedaluan, serta di Maluku dan Irian disebut Goa,
Koana, dan Nagary.[26]
1.6.6.1 Huta
Dalam masyarakat Batak juga terdapat
sistem pemerintahan lokal yang dikenal dengan sebutan Huta, yaitu kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul yaitu Dalihan Na Tolu yang harus tetap selaras
dengan ketentuan dan hukum agama. Setiap Huta, Marga-marga yang ada
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kahanggi,
Anak Boru, dan Mora.
Para tokoh masyarakat dari
masing-masing marga yang tergabung dalam kelompok Kahanggi, Anak Boru, dan Huta
menentukan atau memilih pimpinan mereka yang duduk dalam dewan hutan atau
sebagai Raja Pamusuk. Pembentukannya diusulkan oleh camat kepada bupati untuk
selanjutnya diusulkan kepada DPRD Kabupaten.
Camat yang membawahi Huta
menyelenggarakan rapat Adat dalam menentukan kelompok marga yang tergolong Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. Pembentukan
Huta ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.[27]
1.6.6.2 Pakasa’an
Masyarakat adat Minahasa sudah
mengenal sebuah sistem pemerintahan sebelum masuknya bangsa asing ke negri ini.
Begitupun sub etnis Toumbulu yang
bermukim di wilayah toumu’ung yang kemudian dikenal dengan nama Tomohon serta
memiliki pemuka adat yang memimpin dan memerintah komunitas masing-masing.
Pemimpin Minahasa Zaman tempo dulu
terdiri dari dua golongan yaitu Walian
dan Tona’as. Sebelum abad ke-7,
masyarakat Minahasa berbentuk Matriakhat. Bentuk ini digambarkan bahwa golongan
Walian Wanita yang berkuasa untuk
menjalankan pemerintahan “Makarua Silouw”, yaitu sama dengan dewan dengan 18
orang leluhur dari 3 pakasa’an. Tetapi pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan,
pemerintahan walian wanita beralih ke pemerintahan golongan Tona’as pria dengan menjalankan
pemerintahan “Makatelu Pitu” yaitu
dewan dengan 21 orang leluhur laki-laki.
Sebelum adanya pemerintahan Kolonial
Belanda, Tomohon berbentuk sebuah wilayah sub etnis yang disebut Pakasa’an Tombulu yang dipimpin seorang Tona’as. dibawah pakasa’an terdapat
beberapa Walak yang dikepalai oleh
Kepala Walak. Walak membawahi beberapa Wanua,
dan Wanua terdiri dari beberapa Lukar
yang dikepalai oleh seorang Kolano.
Lukar dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan Pahendon Tua dan dipilih langsung oleh warganya.
Sistem pemerintahan masyarakat adat
ini mengalami perubahan setelah Hindia Belanda menguasai Nusantara. Pakasa’an
disebut Distrik, Walak disebut Onderdistrik, Wanua diganti Negeri dan Lukar menjadi Jaga. Setelah kemerdekaan republik
Indonesia, wilayah Onderdistrik berubah
menjadi wilayah kecamatan, sementara Negeri diganti dengan Desa, dan jaga
menjadi Dusun. Setiap sub etnis Minahasa mempunyai panglima perangnya sendiri
tetapi panglima tertinggi adalah Raja karena dilantik dan dapat diganti oleh
dewan tua yang disebut Patuosan.
1.6.6.3 Wanua
Kemunculan desa di bali bila dilacak
dari awal, dapat dilihat jejaknya sejak zaman bali kuno yaitu sebelum
kedatangan raja-raja turunan Majapahit
ke Bali. Pada masa itu, antara abad ke-9 sampai abad ke 14, masyarakat
bali telah mengenal masyarakat desa yang disebut Kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah Wanua atau Banua seperti
yang tercatat dalam prasasti desa Trunyan
abad ke-10.[28]
Wujud desa pada masa ini lebih
merupakan kelompok keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami
daerah tersebut. Meskipun ada yang disebut Raja, namun kekuasaannya tidak masuk
mencampuri keadaan di desa. pada masa ini desa-desa mempunyai kekuasaan penuh,
mandiri, dan otonom. Walaupun dari segi sistem organisasi dan kepercayaan,
wanua-wanua tersebut mendapatkan pengaruh dari Empu Keturunan, seorang Wiku
Mumpuni dari Jawa Timur, namun hal ini bukanlah hubungan hierarkhi
struktural.
Pasca Otonomi Daerah sejumlah
konsesi ekonomi telah diberikan oleh pemerintahan Provinsi dan Kabupaten kepada
Wanua sebagai desa adat. Disamping itu Wanua mulai diikutsertakan dalam proses
pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari ditingkat
desa. Misalnya, izin investasi harus mendapatkan persetujuan dari Wanua adanya.
Selain di bali, hampir semua
kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis dan Makassar terbangun dari adanya
perjanjian politik antara kelompok atau Anang dalam wilayah Wanua untuk
mengangkat To Manurung sebagai pemimpin atau raja untuk membangun sebuah Negara
dengan sistem hukum dan sistem sosial budaya yang disepakati bersama dalam
mempersatukan dan menjaga masyarakat Wanua menjadi masyarakat yang makmur dan
sejahtera.
1.7 METODOLOGI PENELITIAN
1.7.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang akan
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena
social berdasarkan gejala-gejalanya. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian
deskriptif dapat di artikan sebagi prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang,
lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak sebagaimana adanya.[29]
Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta
fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dari perilaku yang diamati.[30]
Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk
melakukan wawancara terhadap aktivitas dari objek yang di teliti serta dari
dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelengkap data yang di butuhkan.
Penelitian ini di maksudkan untuk mengungkapkan bagaimana sistem pemerintahan
Nagari yang di terapkan di wilayah Minangkabau, terutama pada nagari Guguak
VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.7.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi yang dipilih dalam
penelitian ini yaitu di Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera
Barat.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Guna menunjang kelengkapan
penelitian, maka peneliti melakukan pengumpulan data yang diperlukan dengan
menggunakan metode kepustakaan.
1. Metode
lapangan
Dengan menggunakan metode ini peneliti
akan terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data yang di perlukan
dengan menggunakan metode wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait.
Peneliti juga akan melakukan observasi
langsung terhadap objek yang diteliti.
2. Metode
kepustakaan
Metode kepustakaan dilakukan guna
melengkapi kerangka teoritis dan kerangka konsep dengan menggunakan referensi
berupa text book yaitu buku bacaan,
artikel, makalah, surat kabar, dan web
site.
1.7.4
Teknik Analisa Data
Setelah data diperoleh untuk mendukung proses analisa, maka tahapan
selanjutnya adalah melakukan analisa data. Dalam analisa data ini, data yang
sudah terkumpul akan diolah yang kemudian akan di analisis untuk dapat
disimpulkan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis
sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di Nagari Taeh Baruah.Kabupaten Lima
Puluh Kota Sumatera Barat.
Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan diinterpretasikan sehingga
memberikan keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan
data-data yang sudah terkumpul dari penelitian.[31]
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih rinci, maka peneliti membaginya dalam IV bab dan beberapa sub bab. Untuk
itu sistematika penulisan skripsi ini adalah
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelian, kerangka teori, metodologi penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisa data, dan sistematika penulisan.
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan gambaran
umum wilayah Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Kota Sumatera Barat.
BAB III
ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang sejarh sistem
pemerintahan Nagari di Minangkabau dari sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sampai masa berlakunya undang-undang
nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Mekanisme perekrutan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di Nagari, hubungan kerja antara
pemerintahan Kabupaten, Kecamatan, Pemerintahan Nagari dan lembaga-lembaga yang
ada dalam nagari dewasa ini.
BAB IV
PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran
yang diperoleh dari hasil penelitian.
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
PENELITIAN
2.1 GAMBARAN UMUM NAGARI TAEH BARUAH
Wilayah penelitian dalam skripsi ini
adalah daerah Nagari Taeh Baruah, adalah suatu daerah yang terletak di bagian
utara Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Nagari Taeh Baruah merupakan Nagari yang telah menerapkan Sistem Pemerintahan
Nagari secara modern dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Batas
wilayah administrasi Nagari Taeh Baruah adalah sebagai Berikut:
1. Sebelah
Utara berbatasan dengan Nagari Taeh Bukik
2. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Nagari Koto Baru Simalanggang
3. Sebelah
Barat berbatasan dengan Kecamatan Guguk VIII dan Kecamatan Mungka
4. Sebelah
Timur berbatasan dengan Nagari Koto Tangah Simalanggang
Nagari
Taeh Baruah memiliki luas wilayah 803,27 Ha sebagai salah satu nagari terluas
di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan 87,75 Ha digunakan sebagai Pemukiman,
384,09 Ha digunakan sebagai sawah sederhana, 310,58 Ha pertanian lading kering,
18,35 Ha tambak, 2,5 ha sebagai tempat rekereasi, 7 Km sebagi Jalan raya yang
sedang dalam perpanjangan dan pelebaran dan jalan Nagari dan lain-lain
sepanjang 15 Km.
2.1.1
Topografi
Wilayah Nagari Taeh Baruah
Nagari Taeh Baruah mempunyai luas 803, 27 Ha, dengan
ketinggian dari permukaan laut 515 m serata curah hujan rata-rata
21000mm/tahun. Dari seluruh luas wilayah tersebut 80% daapt dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian baik sawah maupun lading. Dari luas wilayah tersebut
yang dimanfaatkan untuk lahan perkarangan seluas 15% yang tersebar hampir
merata di seluruh Nagari Taeh Baruah.
2.1.2
Demografi
Nagari Taeh Baruah
Jumlah penduduk Nagari Taeh Baruah seluruhnya 7309
jiwa yang terdiri dari 1706 kepala keluarga. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1987 tentang
perlindungan terhadapa anak yang terpaksa bekerja. Usia di bawah 15 tahun yang
bekerja dengan memperoleh imbalan baik berupa uang ataupun barang tergolong
anak yang terpaksa bekerja maka:
Tabel
1
Angkatan
Kerja Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2011
NO
|
Angkatan Kerja
|
JUMLAH (ORANG)
|
1.
|
Penduduk Usia Kerja
|
1766
|
2.
|
Penduduk Usia Kerja
yang bekerja
|
1631
|
3.
|
Penduduk Usia Kerja
yang bekerja
|
135
|
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)
2.1.3 Tingkat
Pendidikan di Nagari Taeh Baruah
Melihat dari mayoritas pekerjaan
dari penduduk Nagari Taeh Baruah adalah bercocok tanam, maka sangat berpengaruh
bagi tingkat pendidikan masyarakat kedepan. Selain itu budaya merantau yang
dimiliki rata-rata masyarakat Minangkabau juga memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap tingkat pendidikan masyaraklatnya, denhan budaya tersebut
masyarakat yang diperantauan dapat lebih berupaya semaksimal mungkin dalam
meningkatkan pendidikan keluarganya yang ada di kampung.
Tabel 2
Tingkat Pendidikan Masyarakat
Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2011
NO
|
TINGKAT PENDIDIKAN
|
JUMLAH (ORANG)
|
1.
|
Tidak Tamat SD
|
664
|
2.
|
Tamat SD/ Sederajat
|
350
|
3.
|
Tamat SLTP/ Sederajat
|
550
|
4.
|
Tamat SLTA/ Sederajat
|
150
|
Tamat Perguruan Tinggi
|
52
|
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)
2.1.4
Potensi
Kelembagaan Bidang Pemerintahan di Nagari Taeh Baruah
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh
Kota Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari bahwa yang
dimaksud dengan Pemerintahan Nagari terdiri dari dua lembaga yakni pertama Wali
Nagari yang dibantu oleh Sekretaris Nagari, dan Wali Jorong, serta kedua adalah
BAMUS selaku lembaga Legislatif yang berfungsi sebagai pengawas bagi
pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tingkat nagari. Pelaksanaan tugas dan
kewajiban Wali Nagari baik langsung maupun tidank langsung diawasi oleh BAMUS.
Oleh sebab itu sewaktu-waktu BAMUS dapat saja meminta pertanggungjawaban dan
meminta keterangan kepada Wali Nagari dalam hal pelaksanaan dan tugasnya selaki
Wali Nagari. (Struktur Organisasi Nagari Taeh Baruah, data Terlampir)
2.1.5
Potensi
Sumber Daya Manusia Bidang Pemerintahan
Adapun Potensi Sumber Daya Pemerintahan yang ada di Nagari Taeh
Baruah dapat dilihat di table berikut ini:
Tabel 3
Jumlah Potensi
Sumber Daya Pemerintahan yang ada di Nagari Taeh Baruah
NO
|
APARATUR NAGARI
|
JUMLAH (ORANG)
|
1.
|
Aparatur Kantor Wali
Nagari
|
8
|
2.
|
Wali Jorong
|
6
|
3.
|
Anggota BAMUS
|
25
|
4.
|
Aparatur Nagari
Lainnya
|
30
|
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Koentjaraningrat.
Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. 1999.
Winarno,
Budi., Teori dan Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Media Pressindo. 2004.
R.Joeniarto. perkembangan Pemerintahan Lokal. Jakarta
: Bumi Aksara. 1992.
Abu
Daud Busro.ilmu Negara. Jakarta :
Bumi Aksara. 1993.
LKAAM. Pelajaran Adat Minangkabau. Bandung : Tropic
Offset. 1997.
LKAAM.
Bunga Rampai Pengetahuan Adat
Minangkabau. Padang : Yayasan Sako Batuah.
2000.
LKAAM. Adat Basandi Syarak, syarak Basandi
Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset, 2002.
Navis,A.A., Alam Takambang jadi Guru : Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1984.
Sutan,
M. Amir., Adat Minangkabau, Tujuan dan
Pola Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya. 1997.
Jurnal Analisis
Politik. Volume 2 Nomor 7.
Padang: Laboratorium Ilmu Politik Unand.
2004.
Hadari Nawawi. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta
: gajah Mada Universitas Press. 1987.
Lexy
J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000.
Murtimus.
Tata Negara. Payakumbuh : SMUN 1
Ggugu Press.
Nasution,A.A,.
Pengamatan Budaya Dalihan Na Tolu dalam
Pengelolaan Pemerintahan
Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padang Sidempuan. Jakarta : Fortasman. 2003.
Peratura
dan Perundang-undangan :
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
Pasal 69.
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 09 Tahun 2000 Tentang
Pokok-pokok Pemerintah Nagari.
Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001
Tentang Pemerintahan Nagari
Tata Tertib DPRD
Kabupaten Lima Puluh Kota No.18/KPTS-DPRD/LK/XII-2004
Internet :
http://www.tomohon.go.id.
Diakses tanggal
[1] LKAAM. Adat Basandi Syarak,
syarak Basandi Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset. 2002. hal. 22
[2] Peraturan Daerah Sumatera Barat. Ibid
[3] Jurnal Analisis Politik. Volume 2
Nomor 7. Padang: Laboratorium Ilmu Politik Unand. 2004.
Hal.54
[5] LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Ibid. hal.
31
[6] Koentjaraningrat. Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1999.hal. 65
[9] Abu Daud Busro.ilmu Negara. Jakarta
: Bumi Aksara. 1993.hal.61
[11] Murtimus. Ibid
[13] Jurnal Analisis Politik. Op.
Cit. hal.54
[14] LKAAM. Pelajaran Adat
Minangkabau. Bandung : Tropic Offset. 1997. Hal.47
[15] A.A Navis. Alam Takambang
jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1984. Hal.92
[16] M. Amir Sutan. Adat Minangkabau, Tujuan dan Pola Hidup Orang Minang. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
1997. Hal.45-48
[17] A.A Navis. Op. Cit.
hal.94
[18] M. Amir Sutan. Op. Cit. hal.
48
[19] M. Amir Sutan. Loc. Cit
[21] LKAAM. Bunga Rampai
Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid. ha.89
[22] A.A Navis. Op. hal.144
[23] LKAAM. Bunga Rampai
Pengetahuan Adat Minangkabau.Op.Cit. hal.105
[24] LKAAM. Bunga Rampai
Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid. hal. 108-109
[25] LKAAM. Bunga Rampai
Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid
[27] A.A Nasution. Pengamatan
Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan,
Mandailing Natal, dan Kota Padang Sidempuan. Jakarta : Fortasman. 2003. Hal.51
[29] Hadari Nawawi. Metodelogi
Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : gajah Mada Universitas Press.
1987.Hal.63
[31] Hadari Nawawi. Op. Cit. hal.65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar