Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu demos dan
kratos.Demos yang berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan.dan pengertian
demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rayat,oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang
berlaku di negara – negara kota (city state) yunani kuno.demokrasi di tandai
dengan munculnya Magna Charta tahun 1215 di inggris. Demokratisasi
adalah perubahan politik dari rezim otoritarian ke rezim demokratis, dan
sekaligus sebagai tindakan atau gerakan bersama membangun demokrasi. Dalam
konteks ini, pemberdayaan politik sangat terkait dengan demokratisasi sebagai
sebuah gerakan atau tindakan membangun demokrasi. Yaitu melembagakan demokrasi
prosedural (kelembagaan dan aturan main) dan membangun demokrasi substantif
baik budaya demokrasi (civic culture) maupun civil society sebagai
sebuah idea. Demokrasi prosedural terkait dengan hubungan antara legislatif,
esekutif dan yudikatif; pola-pola penyelesaian ekstraparlementer; pemilihan
umum, kepartaian, mekanisme pembuatan kebijakan, konstitusi dan lain-lain.
Demokrasi substantif terkait dengan sikap dan perilaku demokrasi seperti
toleransi, kebersamaan, partisipasi, kompetensi, civic engagement,
solidaritas, trust, keterbukaan, kemitraan, antidiskriminasi, dll.
Kalangan aktivis gerakan civil society, terutama NGO, tidak terlalu
berbelit-belit dan rumit memahami dan memperjuangkan demokrasi. Dalam kacamata
mereka target demokrasi adalah terbentuknya pemilihan umum yang bebas dan fair,
kekebasan warga dan media massa, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan,
partisipasi warga masyarakat dalam pemerintahan, terjaminnya hak-hak sipil dan
politik rakyat, dan lain-lain. Untuk memperjuangkan itu semua, aktivis NGO
menempuh jalan menggelar pendidikan politik, membangun organisasi masyarakat
sipil, mengembangkan jaringan multiarah, dan sebagainya. Namun dalam bilik
literatur ilmu politik perdebatan demokratisasi sangat rumit dan bervariasi.
Studi demokratisasi bagaikan rimba belantara. Dalam literatur, gerakan
demokratisasi sering disebut konsolidasi demokrasi. Konsolidasi, secara
normatif, merupakan upaya memelihara stabilitas dan presistensi demokrasi. Pada
dasarnya konsolidasi bisa ditafsirkan sebagai proses pencapaian legitimasi yang
luas dan dalam, sedemikian hingga semua aktor politik, pada level elite maupun
massa, percaya bahwa rezim demokratis adalah yang paling benar dan tepat bagi
masyarakat mereka, lebih baik ketimbang alternatif realistis lain yang bisa
mereka bayangkan. Para pesaing politik harus memegang teguh demokrasi
(hukum-hukum, prosedur-prosedur, dan institusi-institusi yang ditetapkannya)
sebagai satu-satunya permainan, satu-satunya kerangka kerja yang layak untuk
mengatur masyarakat dan memajukan kepentingan mereka sendiri. Pada level massa,
harus ada suatu konsensus normatif dan perilaku yang luas -- yang melintasi
kelas, etnis, kebangsaan, dan pemisahan-pemisahan lainnya -- tentang legitimasi
sistem konstitusional (Scott Mainwaring,
Guillermo O’Donnell dan Samuel Valenzuela 1992; Juan J. Linz & Alfred Stepan,
1996; Larry Diamond, 1999). Legitimasi dalam pengertian ini melibatkan lebih
dari komitmen normatif. Ia harus juga ditunjukkan dalam sikap dan perilaku.
Konsolidasi mencakup, apa yang oleh Dankwart Rustow (1970) disebut
“pembiasaan", dimana norma-norma, prosedur-prosedur, dan harapan-harapan
tentang demokrasi menjadi terinternalisasi sehingga para aktor secara rutin,
secara instinktif mencocokkan diri dengan aturan-aturan permainannya yang
tertulis (dan tak tertulis), bahkan ketika mereka berkonflik dan bersaing
secara intens. Komitmen yang dalam pada demokrasi dan prosedur-prosedurnya pada
level elite dan massa yang menghasilkan sebuah elemen konsolidasi yang krusial.
Konsolidasi demokrasi, karenanya, hanya bisa dipahami secara penuh sebagai
suatu pergeseran dalam kultur politik. Lantas model demokrasi macam apa yang
hendak dikonsolidasikan, diinternalisasikan dan dipercaya oleh seluruh elemen
masyarakat? Bicara tentang model demokrasi, orang biasanya sudah terpola dengan
model demokrasi liberal-perwakilan ala Barat. Demokrasi, menurut model ini,
diukur dengan bekerjanya tiga nilai penting: kontestasi (kompetisi),
liberalisasi dan partisipasi. Ketiganya disandarkan pada prinsip
kebebasan individu, khususnya kebebasan untuk (freedom for). Secara
prosedural kompetisi, liberalisasi dan partisipasi dilembagakan dalam pemilihan
dan lembaga perwakilan. Setiap individu bebas berkompetisi memperebutkan
jabatan-jabatan publik baik esekutif maupun lembaga perwakilan (legislatif)
melalui proses pemilihan. Setiap individu
bebas berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara
bebas tanpa tekanan, ancaman atau mobilisasi. Prinsip one man one vote sangat
dipegang teguh oleh pandangan liberal ini. Di sisi lain, untuk menjamin
kebebasan kompetisi dan partisipasi, sangat diperlukan liberalisasi, atau
sebuah jaminan hukum atas penggunaan hak-hak politik setiap individu. Artinya
setiap orang harus bebas untuk berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh
informasi dari pers yang bebas dan lain-lain. Proses pemilihan sebagai sebuah
wadah kompetisi dan partisipasi harus berjalan secara bebas dan fair,
yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan asas luber dan jurdil. Model
demokrasi seperti itu dianggap universal dan cenderung diadopsi atau diterapkan
secara seragam di seluruh dunia. Ini kekacauan yang luar biasa. Tetapi dalam
tradisi pemikiran dan praktik empirik, model demokrasi liberal-perwakilan itu
tidak luput dari banyak kritik. Ada sebuah pandangan partikularistik terhadap
demokrasi, yang sangat memperhatikan keragaman budaya, struktur sosial, sistem
ekonomi dan sejarah setiap negara ketika menyikapi demokrasi. Pandangan ini,
menurut kacamata saya, terpilah menjadi dua: pandangan partikularistik berbasis
nativisme dan pandangan partikularistik berpijak comunitarianisme. Kaum
nativis umumnya antiliberal, anti-Barat dan menjunjung tinggi semangat
keasilan, tetapi tidak didukung oleh argumen yang kuat secara logis, historis
dan sosilogis. Mereka sering melontarkan berbagai wacana yang menipiskan
harapan akan demokrasi: “demokrasi itu produk Barat”, “demokrasi itu pikiran
orang Yahudi”, “demokrasi itu tidak sesuai dengan Islam”, “demokrasi ala Barat
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia”, “demokrasi hanya menimbulkan
anarkhisme”, “demokrasi justru menjadi penyebab perpecahan bangsa”, “demokrasi
itu ngayawara kalau rakyat masih miskin”, dan lain-lain. Bagi saya
sederet wacana itu adalah mitos yang menyesatkan. Demokrasi, seperti halnya
Pancasila, tidak harus dikatakan, melainkan untuk dipraktikkan. Banyak orang
Indonesia yang tidak mengerti apa itu Pancasila, tetapi mereka dalam kehidupan
sehari-hari mempraktikkan Pancasila dengan lebih baik ketimbang para pejabat
tinggi bergelar “Manggala” yang biasa memberi penataran P-4. Nenek moyang
Indonesia pada masa lalu telah mempraktikkan daily-life democracy tanpa
harus mengatakan secara lateral apa itu demokrasi.
Pandangan nativisme itu tidak cukup
“arif” dan memadai untuk membangun demokrasi, apalagi penganut pandangan itu
tidak mempunyai solusi politik yang lebih cerdas ketimbang pandangan demokrasi
universal. Karena itu, yang lebih “arif”, adalah pandangan demokrasi
partikularistik yang berhaluan comunitarian. Pandangan
partikularistik-comunitarian ini yakin bahwa pratik demokrasi tidak bisa
diseragamkan di berbagai negara, karena konteks budaya, struktur sosial dan
sejarah yang berbeda-beda. Mohamad Hatta termasuk pendukung pandangan itu.
Dalam merumuskan demokrasi, pandangan partikularistik-komunitarian tidak
berpijak pada kebebasan individual tetapi pada komunitas secara kolektif untuk
mencapai kebaikan bersama. Pandangan communitarian justru lahir sebagai
kritik terhadap teori demokrasi liberal. Dua penganut demokrasi communitarian,
Barber dan Walzer, menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak
kewarganegaraan dan menafikkan civic virtue. Artinya, semangat
individualisme liberal itu tidak mampu memberikan landasan yang kokoh bagi
kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi komunitas. Penganut
communitarian yakin bahwa rakyat pada dasarnya selalu berada dalam
ikatan komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan
cenderung menciptakan alineasi partisipasi publik dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar publik. Kaum comunitarian memang menaruh perhatian
pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan
kebebasan individu melainkan penghargaan individu kepada otonomi individu
lainnya serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan
aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.
Berbeda dengan tradisi demokrasi liberal
yang diformalkan dengan wadah lembaga-lembaga politik, gagasan demokrasi communitarian
tersebut tidak terlalu berpikir tentang prosedur formal dalam
lembaga-lembaga politik, melainkan terfokus pada everyday life democracy yang
secara substantif dapat ditanamkan dalam wadah komunitas lokal. Oleh karena itu
gagasan demokrasi communitarian akan dipraktikkan secara beragam dan
partikularistik sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat setempat.
I.
Demokrasi
Liberal (1950 – 1959)
Pada periode ini diberlakukan sistem
Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan
UUDS 1950. Namun setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak
cocok dan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan
semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga
pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950.
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak
cocok dan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan
semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga
pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950.
Dampak Demokrasi Liberal dalam
pemerintahan:
a.
Pembangunan tidak berjalan lancar
karena Kabinet selalu silih berganti,
karena masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai
atau golongannya.
karena masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai
atau golongannya.
b.
Tidak ada partai yang dominan maka
seorang kepala negara terpaksa
bersikap mengambang diantara kepentingan banyak partai. Maka
pengambil keputusan itu menjadi tidak ada.. Karena tidak ada partai yang
pionir (pelopor), istilah Bung Karno Ini membahayakan untuk negara yang
berkembang.
bersikap mengambang diantara kepentingan banyak partai. Maka
pengambil keputusan itu menjadi tidak ada.. Karena tidak ada partai yang
pionir (pelopor), istilah Bung Karno Ini membahayakan untuk negara yang
berkembang.
c.
Dalam sistem multipartai tidak
pernah ada lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif yang kuat, sehingga
tidak ada pemerintahan yang efektif.
Dampak
Demokrasi Liberal dalam masyarakat:
a.
Munculnya pemberontakan di berbagai
daerah
(DI/TII, Permesta, APRA, RMS)
b.
Memunculkan ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintahan yang ada saat itu.
Beberapa
permasalahan yang muncul pada masa Demokrasi Liberal:
a.
perundingan dengan Belanda mengenai
Irian Barat mengalami jalan buntu.
b.
yang bebas aktif karena lebih
condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok
barat.
c.
Krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan.
d.
krisis ekonomi
e.
Berkobarnya semangat anti Cina di
masyarakat.
f.
Pembatalan KMB oleh presiden
menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di
Indonesia
II.
Desentralisasi dan Otonomi
Demokratisasi dan desentralisasi
merupakan dua sisi dalam sebuah mata uang, yang bersandar pada pinsip pembagian
kekuasaan yang ujungnya adalah kedaulatan rakyat. Demokratisasi dan
desentralisasi juga terkait dengan semangat membawa negara lebih dekat ke
rakyat. Di satu sisi demokratisasi mengharuskan desentralisasi, yaitu devolusi
kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal (daerah sampai desa), dari
negara ke masyarakat. Desentralisasi mengharuskan pengurangan peran dan
intervensi negara ke masyarakat lokal, serta pelibatan secara luas partisipasi
masyarakat dalam urusan publik. Desentralisasi yang menghasilkan otonomi (daerah
dan desa), memungkinkan masyarakat lokal mengelola pemerintahan sendiri (self-governing),
membuat keputusan, mengelola sumberdaya lokal serta menyelesaikan persoalan
lokal secara mandiri. Di sisi lain, otonomi (daerah dan desa) harus didukung
demokrasi lokal yang kuat, sebab otonomi tanpa demokrasi hanya akan menimbulkan
pemindahan sentralisasi maupun korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah
lokal. Demokrasi di tingkat lokal, dengan demikian, menuntut transparansi dan
akuntabilitas pemerintah lokal, partisipasi masyarakat dan kontrol masyarakat
terhadap pemerintah.
Baik demokratisasi dan desentralisasi
tentu saja menjadi komitmen kemanusiaan, internasional dan masyarakat lokal.
Komitmen dan tekanan global, secara historis, menimbulkan sebuah gelombang desentralisasi
politik di seluruh dunia sejak 1970-an. Akan tetapi, gerakan untuk pemindahan
kekuasaan menghadapi resistensi yang kuat dari birokrasi pemerintah pusat yang
mengakar-kuat, para pejabat nasional yang cemas, ideologi sentralistik dan
statis yang masih melekat, dan tradisi historis kekuasaan negara tersentralisir
yang berasal dari kekuasaan masa lampau, Di luar rintangan-rintangan ini,
pemerintahan lokal yang efektif memerlukan sumber daya untuk menciptakan
struktur administrasi dan representasi mereka sendiri dan untuk menyediakan
pelayanan yang lebih baik bagi warganya. Sumber daya ini mahal di negara-negara
miskin, yang telah merasakan perlunya untuk mengkonsentrasikan kekuasaan dan
menerapkan otoritas dalam rangka memicu pembangunan dan menjamin distribusi
yang lebih merata.
Bagaimana kita dapat menjelaskan lebih
suksesnya demokrasi pada skala yang sangat kecil? Bagaimana desentralisasi
dapat membantu memperdalam demokrasi di negara-negara yang lebih besar? Larry
Diamond (1999), misalnya, menyatakan secara cerdas bahwa pemerintahan lokal
dapat memupuk vitalitas demokrasi dalam lima cara luas yang tumpang-tindih. Pertama,
ia membantu mengembangkan nilai-nilai dan ketrampilan demokratis di kalangan
warga. Kedua, ia meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap
kepentingan dan urusan lokal. Ketiga, ia memberikan saluran akses
tambahan ke kekuasaan bagi kelompok yang secara historis termarjinalkan dan
karenanya meningkatkan representativitas demokrasi. Keempat, ia
meningkatkan check and balances terhadap kekuasaan di pusat. Kelima,
ia memberikan peluang bagi partai-partai dan faksi-faksi oposisi di pusat untuk
menerapkan sejumlah kekuasaan politik. Masing-masing fungsi ini meningkatkan
legitimasi dan stabilitas demokrasi.
III.
Tantangan dan Harapan
Amartya
Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi
kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan
hak-hak
orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program
yang
efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal
itu
belum
terjadi secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya
untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi
yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum
memberikan
dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus
dihadapi
dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara
ekonomi
adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam
proses
demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa
Indonesia
saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait
dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan
demikian
ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.
Setiap
manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan
bermasyarakat.
Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main.
Aturan
main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam
undang-undang
maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang
hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi,
berdemonstrasi.
Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak
sedikit
fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi
menyampaikan
pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar
mereka
bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi tanpa adanya
sumber daya manusia yang kuat akan
mengakibatkan
masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini
adalah
tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.
Pengaruh
asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu
menguntungkan
Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu
sendiri
karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya
menguntungkan
Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab
mandulnya
demokrasi di Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca
kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan bagi
demokrasi
di Indonesia. Anarkisme ini merupakan bom waktu era Orde Baru yang
meledak
pada saat ini. Anarkisme pada saat ini seolah-olah merupakan bagian dari
demonstrasi
yang sulit dielakkan, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme
justru
bertolak belakang dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai
tumbuh adalah ia memberikan manfaat
sebesar-besarnya
untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi
bisa
memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu
mengurangi
kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan
pemimpin
yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah
kesehatan
dan pendidikan.
Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan
mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di
negara
yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat
merugikan
bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan
berdampak
positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti
Indonesia
tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu
mensejahterakan
rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme
maupun
militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah
pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta
bidang
kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang
peduli
dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan
rakyat
akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari
implementasi
demokrasi itu sendiri.
Di masa transisi ini, implementasi
demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam
berpolitik,
sedangkan masalah ekonomi masih terpinggirkan. Maka muncul kepincangan
dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik dan ekonomi adalah dua sisi yang
berbeda
dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat
perhatian
yang serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi.
Semakin
rendahnya tingkat kehidupan ekonomi rakyat akan berdampak buruk bagi
demokrasi
karena kuatnya bidang politik ternyata belum bisa mengarahkan kepada
perbaikan
ekonomi. Melemahnya ekonomi akan berdampak luas kepada bidang lain,
seperti
masalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang lemah jelas tidak bisa
memperkuat
demokrasi, bahkan justru bisa memperlemah demokrasi.
Demokrasi di Indonesia memberikan
harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang
memiliki
kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat
mengharap
adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan
mengelola
harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan
partai
politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar