Sabtu, 28 April 2012

PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU (STUDI KASUS NAGARI TAEH BARUAH KECAMATAN PAYAKUMBUH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA SUMATERA BARAT)


PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU
(STUDI KASUS NAGARI TAEH BARUAH KECAMATAN PAYAKUMBUH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA SUMATERA BARAT)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Masalah
Adat bersandi syara-syara bersandi Kitabullah, ini merupakan filosofi yg dimiliki masyarakat Minagkabau sebagai salah satu suku yang mayoritas menempati wilayah bagian barat pulau Sumatera Indonesia.
Dalam Tambo sebagai suatu sejarah tradisional Minangkabau dijelaskan bahwa  alam Minangkabau secara geografis terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan Luhak Nan Tigo dan Rantau[1]. Luhak Nan  Tigo terletak di pedalaman yang merupakan tempat asal orang Minangkabau. Karena terletak di pedalaman, maka Luhak Nan Tigo disebut juga sebagai darek atu darat yang merupakan kawasan pusat atau inti dari wilayah Minangkabau, sedangkan Rantau adalah daerah pinggiran atau daerah yang mengelilingi kawasan pusat tersebut.
Luhak Nan Tigo terdiri dari tiga bagian, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Dalam Perkembangan sejarahnya, Rantau pada mulanya merupakan daerah kolonialisasi tempat orang Minangkabau merantau. Akhirnya Rantau berkembang menjadi pemukiman yang terpisah dari kawasan pusat. Tetapi secara cultural, daerah Rantau tetap menghubungkan diri dengan kawasan pusat. Sehingga di alam Minangkabau berlaku adat yang sama yang telah disusun oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumangguangan.
Kekuasaan antara Luhak dengan Rantau diungkapkan dalam pepatah adat yang berbunyi Luhak Bangulu, Rantau Barajo. Dimana artinya adalah kekuasaan di Luhak adalah penghulu-penghulu sedangkan di Rantau adalah dikuasakan kepada raja-raja kecil, artinya Luhak terdiri dari Wali Nagari yang mewakili pemerintahan yang berdiri sendiri.
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayanh tertentu, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Bersandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiaadat setempat dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat. 
Pada awalnya Nagari di Minangkabau telah mempunyai Limbago atau Lembaga sebagai institusi yang mengatur kehidupan masyarakat nagari dalam bidang adat, budaya, hukum, ekonomi, pertanian, social, pemerintahan, dan agama. Limbago itu disebut dengan Tungku Tigo sjarang yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai.
Secara Historis pemerintahan Nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh para penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat.[2] Sistem pemerintahan nagari di wilayah minangkabau diyakini telah diterpakan jauh sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Tetapi semuanya itu berubah semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 ketika pemerintahan Soeharto tentang Pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan system pemerintahan terendah di seluruh Indonesia.
Maka semenjak 1 Agustus 1983, seluruh nagari yang ada di Sumatera Barat dileburkan menjadi pemerintahan desa. Jorong yang menjadi bagian nagari waktu itu langsung dijadikan desa, sehingga nagari dengan sendirinya menjadi hilang. Pemerintahan desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewnang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan laporan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).[3]
Perubahan ini bukan hanya perubahan nama, tetapi diantaranya terdapat perbedaan karakter dan spirit yang menyertainya. Nagri yang berjumlah 543 di Sumatera Barat diubah menjadi 3.138 desa.[4] Perubahan menjadi desa yang demikian maksudnya agar memperoleh dana bantuan pembangunan desa (Bangdes) yang lebih banyak dari pemerintahan pusat. Bila dicermati lebih lanjut, perbedaan antara pemerintahan nagari dan desa dapat dilihat pertama dalam segi keanggotaan.
Penyebutan bagi LMD sebagai lembaga permusyawaratan yang didalamnya anggota yang menjadi wakil dari masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya dengan bermusyawarah jelas hanya sebagai obat penawar yang sama sekali tidak menyembuhkan penyakit apapun. Sebab bersamaan dengan obat penawar itu sekaligus tersuntik racun yang membinasakan aspirasi masyarakat, karena Kepala Desa adalah penguasa LMD itu sendiri. Sehingga praktis tidak ada kekuatan yang mampu berperan sebagai penyeimbang Kepala Desa.
Dengan ketentuan demikian maka tiadak ada control social dari bawah, bahkan dari samping sekalipun, yang ada hanyalah control dari atas. Dalam Padal 10 ayat dua Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa disebutkan bahwa “Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala Desa bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat dan memberikan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD)”.
Keanggotaan LMD berbeda dengan keanggotaan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Keanggotaan KAN dipilih dari unsure Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang (wakil dari tokoh-tokoh perempuan Minangkabau), utusan Jorong serta utusan pemuda. Keanggitaan KAN diresmikan secara administrative dengan keputusan Bupati. KAN juga merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai mitra pemerintahan nagari.
Perbedaan Sistem Pemerintahan Nagari dengan Sistem Pemerintahan desa yang kedua yaitu dalam segi pelaksanaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Dari Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari dapat disimpulkan bahwa KAN mempunyai kedudukan yang penting dan berbeda dengan LMD. Pertanggungjawaban Wali Nagari dapatt diminta melalui KAN dan KAN dapat melakukan funsi pengawasan dalam pelaksanaan Pemerintahan Nagari. Ini berbeda dengan LMD, yaitu tidak mempunyai peran yang vital dalam hal keputusan desa dan Kepala Desa hanya menyamoaikan keterangan pertanggungjawaban kepada LMD.
Dengan demikian kehadiran Udang-Udang Nomor 22 Tahun 1999, dan spesifik Pereaturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, telah mampu menggeser peran LMD, yang hanya sebagai sebuah lembaga yang melegitimasi keputusan desa menjadi sebuah lembaga perwakilan yang mempunyai peran pengawasan terhadap pemerintah di tingkat yaitu Pemerintah Nagari.
Pengangkatan seorang dalam struktur jabatan Pemerintah Desa, diawali dengan pengajuan nama-nama kepada pejabat yang berwenang mengaangkat yakni Sekertaris Desa diangkat oleh Bupati dan Kepala Urusan diangkat oleh Camat atas nama Bupati, setelah mendengar pertimbangan dari ketua LMD. Pengangkatan dilakuakan setelah para calon menempuh seleksi dalam bentuk penyaringan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kualifikasi personalia Pemerintah Desa.
Apabila dibandingkan dengan satuan staf yang ada dalam Pemerintah Nagari, jumlah aparat dalam satuan staf pembantu wali Nagari dan memimpin Sekertariat Nagari adalah Sekertaris Nagari. Selain itu aparat dalam Pemerintah Nagari dilengkapi insur pelaksana Wali Nagari yang di dalam Pemerintah Desa hal tersebut tidak ada.
Tugas yang seharusnya dijalankan oleh pelaksana teknis fungsional semasa Pemerintah Desa dijalankan oleh Kepala Dusun beserta beberapa para staf yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Lebih lanjut mengenai Pemerintahan Nagari, yang dalam struktur organisasinya memiliki Kepala Jorong, Jumlah Kepala Jorong dalam sebuah nagari disesuaikan dengan keadaan nagari yang bersangkutan.
Pemerintah Desa memang telah berjalan sejak tahun 1983 di selurruh Indonesia. Tetapi bagi kebanyakan daerah umumnya Sumatera Barat khususnya, ternyata Pemerintahan Desa telah menimbulkan berbagai dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Adapun dampak dihilangkannya Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat adalah:
1.      Jati diri masyarakat Minangkabau mengalami erosi. Pemahaman dan penghayatan falsafah adat Minangkabau Adat Basandi syarak, Sayak Basandi Kitabullaj, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru mengalami degradasi.
2.      Anak Nagari tidak lagi memiliki kewenangan politis. Hubungan erat yang pernah terjalin antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat adat menjadi semakin berkurang, bahkan hilang.
3.      Hilangnya batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah. Pembentukan dan pemekaran desa menyebabkan hilangnya salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitu mempunyai wilayah denga batas-batas yang jelas.
4.      Masyarat kehilangan tokoh Angku Palo atau Wali Nagari. Fungsinga tidak dapat digantikan oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari adalah tokoh kharismatik yang sangat dihormati dan menjadi panutan bagi anak nagari. Wali Nagari tidak hanya menguasai dan memahami adat istiadat serta taat beragama. Sedangkan kebanyakan Kepala Desa atau Lurah merupakan orang-orang muda yang kurang paham adat istiadat setempat. Bahkan ada diantara mereka bukan berasal dari desa setempat.
5.      Sistem Sentralistik yang diterapkan selama pemerintahan Orde Baru sangat mengurangi nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama seperti gotong-royong,
6.      Aspirasi anak nagari dalam pembangunan kehilangan wdah aslinya yaitu nagari,
7.      Generasi muda Minang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami tentang nagari, terutama mereka yang tinggal dikota dan rantau,
8.      Tungku Tigo Sajarang dan Tali Tigo Sapilin terpinggirkan dan kehilangan fungsinya.[5]

Dalam pelaksanaanya Sistem Pemerintahan Desa belum member gambaran yang jelas terhadap hal-hal yang bersifat umum terutama untuk pelaksanaan fungsi-fungsi social dalam masyarakat belum tersentuh dalam hal pembinaan adat dan budaya yang hanya dikelola secara umum, dimana Kepala Desa berfungsi sebagai Pembina Adat. Kondisi ini telah mematikan fungsi-fungsi social yang ada dalam masyarakat, termasuk fungsi adat yang kurang berpengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan. Dalam pelaksanaan pemerintahan yang menonjol justru system pemerintahannya, dan system control social masyarakat tidak ada sama sekali.
Seiring bergulirnya zaman reformasi yang menuntut diberlakukannya Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara No 60 Tahun 1999. Dan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang tersebut. Maka di Provinsi Sumatera Barat disikapi dengan merespon keinginan masyarakat (terutama pemuka adat) untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari. Berbagai tantangan telah dihadapi dalam pelaksanaannya karena sudah tiga puluh dua tahun masyarakat Sumatera Barat kehilangan Jati di nagari sebagai pusat pemerintahan terendah.
Pemberlakuan Undang-Undang ini mendapat sambutan positif dari mayoritas masyarakat di daerah, sebab secara otomatis daerah diberikan kesempatan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya. Bahkan daerah juga diberikan wewenang untuk membentuk dan menentukan sendiri system pemerintah terendah di daerahnya sesuai dengan karakter daerah masing-masing.
Khusus daerah di Minangkabau yang menempati wilayah provinsi sumatera Barat, respon atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan pernerapan kembali Sistem Pemerintahn Nagari dengan semangat “Babaliak ka Nagari” sebagai unit pemerintahan terndah yang diatu dengan Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang ketentuan pokok Pemerintahan Nagari dan dirubah sempurna kembali dalam PERDA Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari.
Untuk mewujudkan hal diatas maka ditetapkanlah Pemerintahan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah di seluruh Kota dan Kabupaten di Sumatera Barat (kecuali Kabupaten Kepualauan Mentawai). Khusus di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa menjadi Pemerinthan Nagari maka dituangkanlah dalam Peraturan Daerah Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 dan di perbaharui lagi dalam PERDA Lima Puluh Kota Nomor 10 Tahun 2007 diamana Nagari Taeh Baruah Kecamatan Payakumbuh di dalamnya.
Setelah resmi dilaksanakan PERDA Kabupaten Lima Puluh Kota Tentang Pemerintahan Nagari ini, maka secara bertahap dan pasti seluruh bentuk Sistem Pemeritahan Desa yang diterapkan selama masa Orde Baru telah berubah menjadi Pemerintahan Nagari. Dalam pelaksanaannya, Sistem Pemerintahan Nagari dilaksanakan oleh Wali Nagari sebagai pimpinan Eksekutif yang dibantu oleh Badan Perwakilan Anak Nagari ( BPAN ) sebagai lembaga Legeslatif. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari ini merupakan bentuk pelaksanaan otonomi dalam skala kecil, dimana berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Terlihat bahwa Nagari telah mengalami bongkar pasang yang sedemikian rupa. Beragamnya kebijakan serta berganti- gantinya peraturan dan ketentuan menyangkut Nagari dari waktu kewaktu ternyata tidak membawa dinamika Nagari kearah yang lebih baik. Justru secara mandasar semua peraturan tersebut telah menyebabkan memudarnya nilai-nilai local adat Minangkabau dalam masyarakat Nagari yang pada dasarnya demokratis.
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mempelajari dan meneliti dalam sebuah diskripsi mengenai Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, terutama mengenai bagaimanakah pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di MInangkabau dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 ssampai setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan studi kasus pada Nagari Guguak VIII Koto yang bergabung dalam Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
Sebagai sebuah sistem yang di ciptakan oleh manusia, tentu Sistem Pemerintah Nagari memiliki kendala dan memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, terutama menyangkut aspek-aspek teknis, maslah kualitas sumber daya manusia ( SDM ) aparat Pemerintahan Nagari. Bagaimana Sistem Pemerintahan Nagari menjawab masalah tersebut? Masalah-masalah tersebut diangkat dalam tulisan ini sebagai usaha untuk membuka wacana menuju pembangunan masyarakat, dengan judul Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau : Studi Kasus pada Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu dirumuskan masalahnya. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, peneliti merumuskan masalah yaitu “ Bagaimanakan Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau dengan Studi kasus di Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat?”.
1.3 BATASAN MASALAH
Dalam melakukan penelitian ini peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang dicapai. Untuk itu, pada penelitian ini hanya membahas masalah :
1.      Untuk mengetahui sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,
2.      Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
3.      Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam Sistem Pemerintaha Nagari dewasa ini,
4.      Menganalisis mekanisme pemilihan dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan yang terdapat dalam Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera  Barat,
5.      Mengidentifikasi kendala-kendala yang di hadapi Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari.

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari sebelum berlakunya Undang-undang nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa,
2.      Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
3.      Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam Sistem Pemerintahan Nagari dewasa ini,
4.      Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam menerpakan Sistem Pemerintahan Nagari.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Berangkat dari tujuan penelitian , maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.      Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang Pemerintahan Nagari yang diterapkan di wilayah Minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat, serta dapat menjadi bahan masukan maupun rujukan bagi penelitian lainnya,
2.      Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi Nagari Taeh Baruah dan pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi dan pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari,
3.      Secara pribadi, penelitian ini memberi wawasan yang sangat berarti bagi peneneliti dalam memahami konsep Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, khisusnya pada Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.6 KERANGKA TEORI
            Kerangka teori membantu peneliti dalam menentukan tujuan, arah penelitian dan dasar penelitian penelitian, agar langka yang ditempuh selanjutnya jelas dan konsisten. Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk menerapkan suatu fenomena soasial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.[6] Untuk itu diperlukan teori-teori yang mendukung penelitian ini.
1.6.1 Teori Sistem
            Dalam pembahasan ini kita menggunakan teori Sistem yang dikembangkan oleh David Easton dimana Paine dan Naumes telah menawarkan suatu modal proses pembuatan kebijakan yang merujuk pada teori sistem tersebut.[7] Teori ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan apa yang terjadi di dalam pembuatan kebijakan.
            Konsep ini menunjuk pada masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatif. Konsep ini menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan dan dukungan.
            Teori ini disusun dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya yang akan menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, memuaskan permintaan lingkungan serta secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.
            Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan Easton, Paine dan Naumes menggabarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs and outputs). Outputs yang dihasilkan pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan yang seterusnya akan tetap berinteraksi dengan lembaga atau para pembuat kebijakan. Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan kebijakan.
            Menurut teori sistem, kebijakan politik di pandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul. Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian pertentangan konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni :
1)      Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan,
2)      Menyadarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri,
3)      Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (otoritas).
Dengan pejelasan yang demikian, maka teori ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Selain itu, teori ini menyadarkan mengenai beberapa aspek penting dari proses perumusan kebijakan.
Pemerintahan Daerah Sumatera Barat mengembalikan Sistem Pemerintahan Desa menjadi Sistem Pemerintahan Nagari dimulai pada awal Oktober 2000. Untuk tahap awal 250 dari 543 Nagari yang ada di Sumatera Barat telah memulai penerapan pemerintahan terendah tersebut. Pada saat itu keseriusan pemerintah daerah untuk merealisasikan gagasan kembali ke Nagari ramai dibicarakan orang. Di setiap kesempatan dalam berbagai pertemuan baik formal maupun informal, apabila hal itu menyangkut soal desentralisasi dan otonomi daerah atau persoalan lain yang berhubungan dengan Sumatera Barat, ujung-ujungnya adalah kembali ke Nagari. Istyilah kembali ke Nagari sudah menjadi bahan perbincangan khalayak ramai yang menarik di perdebatkan.
Hal itu terus berkembang sehingga menjadi tuntutan terutama dari tokoh adat dan mendapat dukungan dari manyoritas masyarakat untuk ditanggapi secara serius oleh pemerintah daerah dan para pembuat kebijakan. Maka semua tuntutan dan dukungan kembali ke Nagari direspon oleh pemerintah daerah Sumatera Barat dengan mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah ( RANPERDA ) tentang ketentuan pokok Pemerintahan Nagari.
RANPERDA tersebut dibahas dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Sumatera Barat sehingga melahirkan Peraturan Daerah (PERDA) Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dan sesuai kebutuhan dan perkembangan, PERDA tersebut mengalami perubahan dengan dikeluarkan PERDA Nomer 10 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) tenteng Sistem Pemerintahan Nagari dikeluarkan atas dasar pengimplemtasian dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan tuntutan “kembali ke Nagari” di kawasan Minangkabau, khususnya pada Kabupaten Lima Puluh Kota. Tuntutan kembali ke Nagari tersebut berasal dari tokoh-tokoh adat, alim ulama dan para cerdik pandai ( yang di kenal denagn tungku tigo sajarangan) yang kemudian di tanggapi oleh para perumus kebijakan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan di keluarkan PERDA Nomor 01 Tahun 2001 tentang Sistem Pemerintahan Nagari di seluruh wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota yang mana Nagari Taeh Baruah tergabung di dalamnya. PERDA tentang Sistem Pemerintahan Nagari pada awalnya merupakan salah satu bentuk dari pengimplementasian desentralisasi yang di wujutkan dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan di keluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang berlaku efktif pada permualaan 2001 tentang Pemerintahan Daerah.
Respon terhadap Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut berlanjut dengan di wujudkannya penerapan Sistem Kembali ke Nagari di wilayah Sumatera Barat yang diatur dalam PERDA Nomor 09 Tahun 2000 tentang ketentuan pokok Pemerintahan Nagari. Kemudian PERDA tingkat provinsi Sumatera Barat ini diteruskan dengan PERDA Nomor 01 Tahun 2001 di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota lalu kemudian direvisi kembali dengan PERDA Nomor 10 Tahun 2007
Namun berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dan di pandang perlu adanya penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi maka PERDA Provinsi Sumatera Barat Nomor 09 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari diganti menjadi PERDA Provinsi Sumatera Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok pemerintahan Nagari.
Adapun mekanisme perumusan RANPERDA menjadi PERDA tentang Sistem Pemerintahan Nagai Khusus di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah diawali dengan respon terhadap disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut telah member peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus  rumah tangganya sendiri, termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan pemerintahan  terendah berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang bersifat istimewa di daerah Sumatera Barat pada umumnya dan Kabupaten Lima Puluh Kota pada khusunya adalah Nagari.
Dengan latar belakang itulah maka diterapkanlah Pemerintahan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah di Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa. PERDA kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 dirumuskan sebagai tindakan lanjut dari PERDA Provinsi Sumatera Barat Nomer 09 Tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerinataha Nagari.
Pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 69 menyebutkan bahwa “Kepala Daerah menetapkan PERDA atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.[8] Berdasarkan pasal tersebut maka Usulan Rancangan suatu PERDA dapat diajukan oleh Kepala Daerah ( bagian Hukum dan Dinas-dinas) dan disamping itu DPRD pun berhak mengajukan RANPERDA sebagai implementasi dari hak prakarsa atau hak inisiatif yang dimiliki DPRD yaitu yang diusulkan kelompok sesuai Tat Tertip DPRD dan tergantung kepada kemampuan anggota tersebut.
DPRD memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Peraturan Daerah dibaha oleh DPRD beserta Bupati atau pemerntah Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.RANPERDA yang sudah disetujui bersama, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja di sampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati untuk disahkan menjadi PERDA. Apabiala setelah 15 (lima belas) hari kerja, RANPERDA yang sudah disampaikan kepada Bupati belum disahkan menjadi PERDA, pimpinan DPRD mengirim surat kepada Bupati untuk meminta penjelasan. Apabila RANPERDA yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Bupati dalam waktu paling lambat 30 (tiga piluh) hari sejak RANPERDA tersebut disetujui bersama, RANPERDA tersebut sah menjadi PERDA dan wajib diundangkan.
            Rancangan PERDA yang telah disahkan dalam Sidang DPRD, dikembalikan kepada Kepala Dareah untuk ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran Daerah, setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah PERDA tersebut sudah wajib dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah (PEMDA). Dalam PERDA tersebut juga telah diatur semua hal yang berkenaan dengan Sistem Pemerintahan Nagari.


1.6.2 Bentuk-bentuk Pemerintahan
            C.F Strong telah mengemukakan beberapa criteria dalam melihat bentuk Negara, yaitu :
a.       Melihat Negara dalam bagaimana bangunannya, apakah Negara Kesatuan atau Negara Serikat,
b.      Melihat bagaimana konstitusinya,
c.       Melihat badan eksekutif, apakah bertanggung jawab kepada parlemen atau tidak, dan badan eksekutif yang telah ditentukan jangka waktunya,
d.      Melihat badan perwakilannya, bagaimana penyusunannya dan siapa yang berhak duduk disitu, serta
e.       Bagaimana hokum yang berlaku.[9]
Untuk itu ada beberapa para ahli dalam menentukan bentuk suatu Negara. Plato mengemukakan lima bentuk pemerintahan Negara, yaitu :
1)      Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh kaum cendikiawan yang di laksanakan esuai dengan keadilan,
2)      Timokrasi, yaitu pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyuran dan kehormatan,
3)      Oligarkhi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh golongan hartawan,
4)      Tirani, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang tiran (sewenang-wenang) sehingga jauh dari cita-cita keadilan.[10]
Setelah Plato, Aristoteles membadakan bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah dan menurut orang yang berkualitas pemerintahannya, yaitu :
1)      Monarkhi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan demi kepentingan umum,
2)      Tirani, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang demi kepentingan pribadi,
3)      Aristigrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya,
4)      Demokrasi, yaitu pemerintaha yang dipegang oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum.[11]
Teori bentuk-bentuk Negara ini menjadi patokan dalam melihat bagaimana sebenarnya yang menjadi bentuk dari sistem pemerintahan Nagari yang diterapkan diwilayah Minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah.. Nagari Taeh Baruah yang manyoritas menganut kelarasan Bodi Caniago dan sebagian kecil menganut kelarasan Koto Piliang telah mempengaruhi penerapan Sistem Pemerintahan Nagari, khususnya dalam hal pemilihan wali Nagari dan ninik  Mamak selaku kepala suku atau penghulu. Untuk lebih jelas semuanya itu penulis bahas dalam BAB Analisis Data.
Teori bentuk-bentuk Negara ini menjadi patokan peneliti dalam melihat bagaimana sebenarnya yang menjadi bentuk dari sIstem pemerintahan nagari yang diterapkan di wilayah minangkabau, khususnya pada Nagari Taeh Baruah. Nagari Taeh Baruah yang mayoritas menganut kelarasan bodi chaniago dan sebagian kecil menganut kelarasan koto Piliang telah mempengaruhi penerapan sistem pemerintahan nagari, khususnya dalam hal pemilihan Wali Nagari dan Ninik Mamak selaku Kepala Suku atau Penghulu. Untuk lebih jelas semuanya itu penulis bahas dalam BAB Analisa Data.

1.6.3 Sistem Pemerintahan Desa
Semenjak tanggal 1 agustus 1983, di Indonesia telah diterapkan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.[12] Pemerintahan desa yang berasal dari Budaya jawa dipimpin oleh seorang kepala desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah kecamatan. Dalam menjalankan Hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).[13]

1.6.4 Sistem Pemerintahan Nagari
1.6.4.1 Nagari
Kata nagari berasal dari bahasa sanskerta yaitu “Nagari”, yang dibawa oleh bangsa yang menganut agama Hindu. Bangsa itu pulalah yang menciptakan pembagian nagari serta menentukan pembagian suku-suku diantara mereka. Nagari-nagari kecil itu merupakan suatu bentuk Negara yang berpemerintahan sendiri.[14]
            Menurut A.A Navis menyatakan pengertian nagari sebagai suatu pemukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan penghulu pucuk (penghulu tua) selaku pimpinan pemerintahan tertinggi.[15]
M.Amir Sutan menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai asal-usul nagari diberikan oleh ahli adat De Rooy. Dia menulis bahwa nagari yang tertua adalah nagari Pariangan Padang Panjang. Dari Pariangan Rakyat mengembara kemana-mana dan mendirikan tempat tinggal baru yang akhirnya membentuk sebuah kampung.
Perkampungan ini disebut dengan Taratak, kemudian taratak berkembang menjadi Dusun, dusun berkembang menjadi Koto, dan Koto berkembang menjadi Nagari.[16]

A.A Navis menguraikan Nagari yang empat itu sebagai berikut :
       1) Taratak
Yaitu pemukiman paling luar dari kesatuan Nagari yang juga merupakan perladangan dengan berbagai hunian didalamnya. Pimpinannya disebut Tuo (Tua/Ketua), belum punya penghulu oleh sebab itu rumah-rumahnya belum boleh bergonjong.
       2) Dusun
Merupakan pemukiman yang telah banyak jumlah penduduknya, telah mempunyai tempat beribadah, rumah gadang dua gonjong tetapi belum mempunyai penghulu dan pimpinan pemerintahannya disebut Tuo Dusun.


            3)  Koto
Koto merupakan pemukiman yang telah mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti Nagari dan pimpinan terletak ditangan Penghulu, tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding.
4)      Nagari
Yaitu pemukiman yang memiliki alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk sebagai pimpinan pemerintahan yang tertinggi.[17]
Setiap pendirian sebuah nagari memiliki empat syarat yang di ungkapkan dalam sebuah pepatah adat yang berbunyi “Nagari kaampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang nan batuo, rumah batungganai” (nagari berempat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua dan rumah bertungganai). Artinya yaitu setiap nagari yang didirikan harus terdiri dari :
1.      Mempunyai empat buah suku,
2.      Setiap suku mempunyai beberapa buah perut (kaum dari turunan Ibu),
3.      Mempunyai penghulu suku yang akan menjadi pemegang pemerintahan nagari secara kolektif,
4.      Rumah batungganai yaitu mempunyai kepala kaum yang disebut dengan penghulu kaum dari keluarga yang mendiami suatu rumah menurut stelsel matrilineal.[18]
Dari hukum adat diatas telah dituangkan dalam Undang-undang nagari tentang syarat pendirian sebuah nagari, yaitu :
1.      Mempunyai sedikit empat suku,
2.      Mempunyai balairung untuk bersidang,
3.      Mempunyai sebuah masjid untuk beribadah,
4.      Mempunyai tepian untuk mandi.[19]
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikemukakan secara kongkrit bahwa nagari merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat minangkabau yang mempunyai batasan-batasan alam yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah mufakat. Dilihat dari struktur wilayahnya, maka suatu nagari terdiri dari beberapa jorong yang dikepalai oleh wali jorong yang bertanggung jawab pada wali nagari.
1.6.4.2 Jorong
Jorong merupakan unit-unit lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan nagari. Jorong umumnya merupakan bekas desa yang ada dalam wilayah suatu nagari, namun tidak menutup kemungkinan desa dipecah menjadi beberapa jorong jika bekas desa tersebut memiliki wilayah yang luas atau atas dasar pertimbangan jumlah penduduk.
1.6.4.3 Pemerintahan Nagari
Secara historis pemerintahan nagari merupakan suatu pemerintahan tradisional yang di perintah oleh penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat. Penghulu-penghulu tersebut dibantu oleh para manti (orang cerdik yang dipercaya oleh penghulu), malin (alim ulama), dan dubalang (hulubalang/keamanan).[20]
Pemerintahan nagari sebagai pemerintahan terendah yang menggantikan pemerintahan desa merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah provinsi Sumatera Barat. Terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya.
Dalam Otonomi daerah unsur-unsur yang memimpin pemerintahan nagari adalah ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan bundo kanduang. Unsur-unsur tersebut terhimpun dalam lembaga-lembaga yang ada di nagari seperti Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) sebagai badan yang memberikan saran dan nasehat kepada wali nagari. BMAS mendapatkan masukan dari dua lembaga yaitu Lembaga Adat Nagari (LAN) dan Lembaga Syarak Nagari (LSN). sementaritu wali nagari dalam menjalankanan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris dan beberapa staff yaitu Kaur Nagari Bidang Pemerintahan, dan Kaur Nagari Bidang Pembangunan.
Dalam arti luas keseluruhan badan pengurus nagari dengan segala organisasinya, segala bagian-bagiannya, segala pejabat-pejabatnya di nagari, seperti : Wali Nagari, BPAN, wali Jorong, Badan Musyawarah Adat Syarak Nagari (BMASN) dan LAN. Sedangkan Dalam arti sempit pemerintahan nagari berarti suatu badan pimpinan yang terdiri dari seorang atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam pelaksanaan tugas nagari seperti Wali Nagari dan perangkat nagari, kepala urusan dan kepala jorong (desa).
1.6.5 Kepemimpinan Tungku Tigo Sejarangan dan Tali Tigo Sapilin
Tungku Tigo Sajarangan adalah lambang dari tiga unsur kepemimpinan di minangkabau, yaitu ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai (Cadiak Pandai). Sedangkan tali tigo sapilin mengacu pada tiga landasan sebagai tempat berpijak bagi tungku Tigo Sajarangan. Dimana ketiga landasan tersebut adalah ketentuan adat yang menjadi pegangan Ninik Mamak, hukum agama atau syarak sebagai pegangan para alim ulama, dan Undang-undang yang menjadi pegangan atau landasan berpijak para Cerdik Pandai (Cendikiawan).[21]
1.6.5.1 Ninik Mamak                                                                       
Ninik mamak adalah fungsional adat. Jabatan penghulu adalah sebagai pemegang gelar Datuk secara turun temurun menurut garis keturunan ibu dalam sistem matrilineal. Prinsip kepemimpinannya adalah apabila setiap persoalan yang tumbuh dalam kaum, suku dan nagari dapat dicari pemecahannya melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian dilakukan dengan cermat sehingga tidak seorang pun yang merasa menang atau kalah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya adalah dari Ninik turun ke mamak,dari mamak turun ke kemanakan, patah tumbuh hilang berganti. Kemenakan yang berhak menerima warisan itu adalah kemenakan dibawah dagu, yaitu kemenakan yang mempunyai pertalian darah. Namun ada dua pendapat dalam hal pewarisan gelar ninik mamak sesuai dengan aliran kelarasan yang dianutnya, yaitu :
1.      Warih dijawek, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan ninik mamak adalah kemenakan langsung yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan. Sistem ini dianut oleh kelarasan koto piliang,
2.      Gadang bagilia, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan penghulu yaitu semua laki-laki warga kaum dengan cara bergeliran antara mereka yang seasal usul. Sistem ini dianut oleh kelarasan bodi caniago.[22]
            Adapun syarat-syarat atau kriteria seorang laki-laki untuk dapat dipilih menjadi seorang ninik mamak adalah :
1.      Seseorang dipilih menjadi ninik mamak karena dipandang memiliki kepribadian yang terus berkembang, berilmu, dan mempunyai wawasan yang luas. Calon ninik mamak tersebut mempunyai kelebihan dari yang lainnya, mempunyai kemampuan dan kapabilitas. Dia juga mempunyai wibawa, disegani anak kemenakan, kukuh dengan pendirian, tidak terombang-ambing, dan solid,
2.      Tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak, artinya ada persetujuan bersana atau ada kesepakatan untuk mengangkatnya jadi ninik mamak.[23]
1.6.2 Alim Ulama
           Alim ulama adalah fungsional agama dalam masyarakat. Prinsip kepemimpinannya adalah tahu sah dengan Batal, tahu halal dengan haram, melaksanakan perintah dan menjauhi perintah Allah dan Rasul karena adat minangkabau adalah adat islami, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya mengaji sepanjang kitab, kitab datang dari Allah, Sunnah datang dari Rasul. Pada hakikatnya, alim ulama berdiri dipintu syarak (agama islam).
            Pada abad ke-18, didaerah minangkabau tumbuh dan berkembang surau-surau sebagai pusat pengkajian, ilmu, dan politik. Surau sebagai lembaga pendidikan dan pusat kaum terpelajar dalam menuntut ilmu agama yang berkaitan dengan kehidupan kemansyarakatan. Setelah menamatkan pelajarannya, mereka kembali ke nagari sebagai Alim Ulama dengan ketentuan dipandang taat beribadah, rajin ke surau, dan mampu membimbing masyarakat untuk taat beragama. Dewasa ini unsur alim ulama lahir ditengah masyarakat yang merupakan tamatan pesantren, madrasah, perguruan tinggi agama islam, dan lain sebagainya.[24]
1.6.5.3 Cerdik Pandai
          Cerdik pandai (Cadiak Pandai) adalah fungsional masyarakat dibidang ilmu pengetahuan dalam arti yang luas. Dalam kenyataan sehari-hari, cerdik pandai adalah orang yang menguasai ilmu, baik ilmu adat, ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan. Pada awalnya para cerdik pandai adalah warga nagari yang berprofesi sebagai guru, kerani (juri tulis kantor), dan lain-lain. Orang-orang tersebut dipandang berpengetahuan lebih dibanding masyarakat awam dan terbiasa dengan menulis dan membaca.[25]
          Orang tersebut dibawa ikut berunding dalam memecahkan berbagai masalah di nagari. Mereka paham dengan undang-undang dan peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bersama sebagai bangsa dan bernegara. Ketika perkembangan pendidikan sudah lebih maju telah melahirkan orang-orang pandai dan para cendekiawan sebagai unsur Tungku Tigo Sajarangan.
1.6.6 Beberapa Jenis Sistem Pemerintahan Local di Indonesia
            Selain Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, juga ada beberapa wilayah di Indonesia yang juga mempunyai sistem pemerintahan terendah tersendiri, yaitu diantaranya dijawa, Madura, dan bali disebut desa, di sumatera di sebut Kampung, Huta, Nagari, di Kalimantan disebut Tumenggungan, di Sulawesi ada Wanua, Distrik, Pekason, di Nusa Tenggara Barat disebut Banjar, Lomblan, di Nusa Tenggara Timur disebut, Laraingu, Kenaitan, Keftaran, Kedatoan, Kedaluan, serta di Maluku dan Irian disebut Goa, Koana, dan Nagary.[26]
1.6.6.1 Huta
           Dalam masyarakat Batak juga terdapat sistem pemerintahan lokal yang dikenal dengan sebutan Huta, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul yaitu Dalihan Na Tolu yang harus tetap selaras dengan ketentuan dan hukum agama. Setiap Huta, Marga-marga yang ada dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kahanggi, Anak Boru, dan Mora.
           Para tokoh masyarakat dari masing-masing marga yang tergabung dalam kelompok Kahanggi, Anak Boru, dan Huta menentukan atau memilih pimpinan mereka yang duduk dalam dewan hutan atau sebagai Raja Pamusuk. Pembentukannya diusulkan oleh camat kepada bupati untuk selanjutnya diusulkan kepada DPRD Kabupaten.
           Camat yang membawahi Huta menyelenggarakan rapat Adat dalam menentukan kelompok marga yang tergolong Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. Pembentukan Huta ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.[27]
1.6.6.2 Pakasa’an
           Masyarakat adat Minahasa sudah mengenal sebuah sistem pemerintahan sebelum masuknya bangsa asing ke negri ini. Begitupun sub etnis Toumbulu yang bermukim di wilayah toumu’ung yang kemudian dikenal dengan nama Tomohon serta memiliki pemuka adat yang memimpin dan memerintah komunitas masing-masing.
             Pemimpin Minahasa Zaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yaitu Walian dan Tona’as. Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriakhat. Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian Wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Silouw”, yaitu sama dengan dewan dengan 18 orang leluhur dari 3 pakasa’an. Tetapi pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan, pemerintahan walian wanita beralih ke pemerintahan golongan Tona’as pria dengan menjalankan pemerintahan “Makatelu Pitu” yaitu dewan dengan 21 orang leluhur laki-laki.
           Sebelum adanya pemerintahan Kolonial Belanda, Tomohon berbentuk sebuah wilayah sub etnis yang disebut Pakasa’an Tombulu yang dipimpin seorang Tona’as. dibawah pakasa’an terdapat beberapa Walak yang dikepalai oleh Kepala Walak. Walak membawahi beberapa Wanua, dan Wanua terdiri dari beberapa Lukar yang dikepalai oleh seorang Kolano. Lukar dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan Pahendon Tua dan dipilih langsung oleh warganya.
            Sistem pemerintahan masyarakat adat ini mengalami perubahan setelah Hindia Belanda menguasai Nusantara. Pakasa’an disebut Distrik, Walak disebut Onderdistrik, Wanua diganti Negeri dan Lukar menjadi Jaga. Setelah kemerdekaan republik Indonesia, wilayah Onderdistrik berubah menjadi wilayah kecamatan, sementara Negeri diganti dengan Desa, dan jaga menjadi Dusun. Setiap sub etnis Minahasa mempunyai panglima perangnya sendiri tetapi panglima tertinggi adalah Raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua yang disebut Patuosan.
1.6.6.3 Wanua
           Kemunculan desa di bali bila dilacak dari awal, dapat dilihat jejaknya sejak zaman bali kuno yaitu sebelum kedatangan raja-raja turunan Majapahit  ke Bali. Pada masa itu, antara abad ke-9 sampai abad ke 14, masyarakat bali telah mengenal masyarakat desa yang disebut Kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah Wanua atau Banua seperti yang tercatat dalam prasasti desa Trunyan abad ke-10.[28]
            Wujud desa pada masa ini lebih merupakan kelompok keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tersebut. Meskipun ada yang disebut Raja, namun kekuasaannya tidak masuk mencampuri keadaan di desa. pada masa ini desa-desa mempunyai kekuasaan penuh, mandiri, dan otonom. Walaupun dari segi sistem organisasi dan kepercayaan, wanua-wanua tersebut mendapatkan pengaruh dari Empu Keturunan, seorang Wiku Mumpuni dari Jawa Timur, namun hal ini bukanlah hubungan hierarkhi struktural.
            Pasca Otonomi Daerah sejumlah konsesi ekonomi telah diberikan oleh pemerintahan Provinsi dan Kabupaten kepada Wanua sebagai desa adat. Disamping itu Wanua mulai diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari ditingkat desa. Misalnya, izin investasi harus mendapatkan persetujuan dari Wanua adanya.
           Selain di bali, hampir semua kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis dan Makassar terbangun dari adanya perjanjian politik antara kelompok atau Anang dalam wilayah Wanua untuk mengangkat To Manurung sebagai pemimpin atau raja untuk membangun sebuah Negara dengan sistem hukum dan sistem sosial budaya yang disepakati bersama dalam mempersatukan dan menjaga masyarakat Wanua menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera.
1.7     METODOLOGI PENELITIAN
1.7.1  Jenis Penelitian
             Metode penelitian yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena social berdasarkan gejala-gejalanya. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat di artikan sebagi prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.[29] Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
            Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dari perilaku yang diamati.[30] Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktivitas dari objek yang di teliti serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelengkap data yang di butuhkan. Penelitian ini di maksudkan untuk mengungkapkan bagaimana sistem pemerintahan Nagari yang di terapkan di wilayah Minangkabau, terutama pada nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.7.2  Lokasi Penelitian
            Adapun lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu di Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
1.7.3  Teknik Pengumpulan Data
           Guna menunjang kelengkapan penelitian, maka peneliti melakukan pengumpulan data yang diperlukan dengan menggunakan metode kepustakaan.
1.      Metode lapangan
Dengan menggunakan metode ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data yang di perlukan dengan menggunakan metode wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait.
Peneliti juga akan melakukan observasi langsung terhadap objek yang diteliti.
2.      Metode kepustakaan
Metode kepustakaan dilakukan guna melengkapi kerangka teoritis dan kerangka konsep dengan menggunakan referensi berupa text book yaitu buku bacaan, artikel, makalah, surat kabar, dan web site.
1.7.4 Teknik Analisa Data
        Setelah data diperoleh untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa data. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah yang kemudian akan di analisis untuk dapat disimpulkan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di Nagari Taeh Baruah.Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
          Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang sudah terkumpul dari penelitian.[31]

1.8  SISTEMATIKA PENULISAN
           Untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci, maka peneliti membaginya dalam IV bab dan beberapa sub bab. Untuk itu sistematika penulisan skripsi ini adalah
BAB I            PENDAHULUAN
                     Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelian, kerangka teori, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan sistematika penulisan.
BAB II          DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
                     Bab ini berisikan gambaran umum wilayah Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Kota Sumatera Barat.
BAB III        ANALISA DATA
                     Bab ini berisikan tentang sejarh sistem pemerintahan Nagari di Minangkabau dari sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sampai masa berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Mekanisme perekrutan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di Nagari, hubungan kerja antara pemerintahan Kabupaten, Kecamatan, Pemerintahan Nagari dan lembaga-lembaga yang ada dalam nagari dewasa ini.
BAB IV         PENUTUP
                     Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian.







BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
2.1 GAMBARAN UMUM NAGARI TAEH BARUAH
            Wilayah penelitian dalam skripsi ini adalah daerah Nagari Taeh Baruah, adalah suatu daerah yang terletak di bagian utara Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Nagari Taeh Baruah merupakan Nagari yang telah menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari secara modern dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Batas wilayah administrasi Nagari Taeh Baruah adalah sebagai Berikut:
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Taeh Bukik
2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Nagari Koto Baru Simalanggang
3.      Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Guguk VIII dan Kecamatan Mungka
4.      Sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Koto Tangah Simalanggang
Nagari Taeh Baruah memiliki luas wilayah 803,27 Ha sebagai salah satu nagari terluas di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan 87,75 Ha digunakan sebagai Pemukiman, 384,09 Ha digunakan sebagai sawah sederhana, 310,58 Ha pertanian lading kering, 18,35 Ha tambak, 2,5 ha sebagai tempat rekereasi, 7 Km sebagi Jalan raya yang sedang dalam perpanjangan dan pelebaran dan jalan Nagari dan lain-lain sepanjang 15 Km.


2.1.1        Topografi Wilayah Nagari Taeh Baruah
Nagari Taeh Baruah mempunyai luas 803, 27 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 515 m serata curah hujan rata-rata 21000mm/tahun. Dari seluruh luas wilayah tersebut 80% daapt dimanfaatkan sebagai lahan pertanian baik sawah maupun lading. Dari luas wilayah tersebut yang dimanfaatkan untuk lahan perkarangan seluas 15% yang tersebar hampir merata di seluruh Nagari Taeh Baruah.
2.1.2        Demografi Nagari Taeh Baruah
Jumlah penduduk Nagari Taeh Baruah seluruhnya 7309 jiwa yang terdiri dari 1706 kepala keluarga. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1987 tentang perlindungan terhadapa anak yang terpaksa bekerja. Usia di bawah 15 tahun yang bekerja dengan memperoleh imbalan baik berupa uang ataupun barang tergolong anak yang terpaksa bekerja maka:
Tabel 1
Angkatan Kerja Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2011
NO
Angkatan Kerja
JUMLAH (ORANG)
1.
Penduduk Usia Kerja
1766
2.
Penduduk Usia Kerja yang bekerja
1631
3.
Penduduk Usia Kerja yang bekerja
135
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)
2.1.3 Tingkat Pendidikan di Nagari Taeh Baruah
            Melihat dari mayoritas pekerjaan dari penduduk Nagari Taeh Baruah adalah bercocok tanam, maka sangat berpengaruh bagi tingkat pendidikan masyarakat kedepan. Selain itu budaya merantau yang dimiliki rata-rata masyarakat Minangkabau juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pendidikan masyaraklatnya, denhan budaya tersebut masyarakat yang diperantauan dapat lebih berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan pendidikan keluarganya yang ada di kampung.
Tabel 2
Tingkat Pendidikan Masyarakat Nagari Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2011
NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH (ORANG)
1.
Tidak Tamat SD
664
2.
Tamat SD/ Sederajat
350
3.
Tamat SLTP/ Sederajat
550
4.
Tamat SLTA/ Sederajat
150

Tamat Perguruan Tinggi
52
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)
2.1.4        Potensi Kelembagaan Bidang Pemerintahan di Nagari Taeh Baruah
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Nagari terdiri dari dua lembaga yakni pertama Wali Nagari yang dibantu oleh Sekretaris Nagari, dan Wali Jorong, serta kedua adalah BAMUS selaku lembaga Legislatif yang berfungsi sebagai pengawas bagi pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tingkat nagari. Pelaksanaan tugas dan kewajiban Wali Nagari baik langsung maupun tidank langsung diawasi oleh BAMUS. Oleh sebab itu sewaktu-waktu BAMUS dapat saja meminta pertanggungjawaban dan meminta keterangan kepada Wali Nagari dalam hal pelaksanaan dan tugasnya selaki Wali Nagari. (Struktur Organisasi Nagari Taeh Baruah, data Terlampir)
2.1.5        Potensi Sumber Daya Manusia Bidang Pemerintahan
Adapun Potensi Sumber Daya Pemerintahan yang ada di Nagari Taeh Baruah dapat dilihat di table berikut ini:
Tabel 3
Jumlah Potensi Sumber Daya Pemerintahan yang ada di Nagari Taeh Baruah
NO
APARATUR NAGARI
JUMLAH (ORANG)
1.
Aparatur Kantor Wali Nagari
8
2.
Wali Jorong
6
3.
Anggota BAMUS
25
4.
Aparatur Nagari Lainnya
30
(Sumber Data: Profil Nagari Taeh Baruah Tahun 2011)











DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1999.

Winarno, Budi., Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. 2004.
R.Joeniarto. perkembangan Pemerintahan Lokal. Jakarta : Bumi Aksara. 1992.

Abu Daud Busro.ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 1993.
LKAAM. Pelajaran Adat Minangkabau. Bandung : Tropic Offset. 1997.

LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Padang : Yayasan Sako         Batuah. 2000.
LKAAM. Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset, 2002.

Navis,A.A., Alam Takambang jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau.    Jakarta : Grafiti Pers. 1984.

Sutan, M. Amir., Adat Minangkabau, Tujuan dan Pola Hidup Orang Minang. Jakarta:      Mutiara Sumber Widya. 1997.
Jurnal Analisis Politik. Volume 2 Nomor 7. Padang: Laboratorium Ilmu Politik       Unand. 2004.

Hadari Nawawi. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : gajah Mada    Universitas Press. 1987.

Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000.
Murtimus. Tata Negara. Payakumbuh : SMUN 1 Ggugu Press.
Nasution,A.A,. Pengamatan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan             Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padang            Sidempuan.  Jakarta : Fortasman. 2003.

Peratura dan Perundang-undangan :

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah Pasal 69.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah

Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 09 Tahun 2000 Tentang Pokok-pokok     Pemerintah Nagari.

Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tentang      Pemerintahan Nagari

Tata Tertib DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota No.18/KPTS-DPRD/LK/XII-2004



Internet :
http://www.tomohon.go.id. Diakses tanggal





[1] LKAAM. Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset. 2002. hal. 22
[2] Peraturan Daerah Sumatera Barat. Ibid

[3] Jurnal Analisis Politik. Volume 2 Nomor 7. Padang: Laboratorium Ilmu Politik Unand. 2004. Hal.54
[4] LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Op. cit. hal. 29
[5] LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Ibid. hal. 31
[6] Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1999.hal. 65
[7] Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. 2004. hal. 70-74
[8] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah Pasal 69
[9] Abu Daud Busro.ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 1993.hal.61
[10] Murtimus. Tata Negara. Payakumbuh : SMUN 1 Ggugu Press. Hal. 27
[11] Murtimus. Ibid
[12] LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Op. Cit. hal. 28
[13] Jurnal Analisis Politik. Op. Cit. hal.54
[14] LKAAM. Pelajaran Adat Minangkabau. Bandung : Tropic Offset. 1997. Hal.47
[15] A.A Navis. Alam Takambang jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1984. Hal.92
[16] M. Amir Sutan. Adat Minangkabau, Tujuan dan Pola Hidup Orang Minang. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. 1997. Hal.45-48
[17] A.A Navis. Op. Cit. hal.94
[18] M. Amir Sutan. Op. Cit. hal. 48
[19] M. Amir Sutan. Loc. Cit
[20] LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Padang : Yayasan Sako Batuah. 2000. Hal. 20
[21] LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid. ha.89
[22] A.A Navis. Op. hal.144
[23] LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau.Op.Cit. hal.105
[24] LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid. hal. 108-109
[25] LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Ibid

[26] R.Joeniarto. perkembangan Pemerintahan Lokal. Jakarta : Bumi Aksara. 1992. Hal. 23
[27] A.A Nasution. Pengamatan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padang Sidempuan.  Jakarta : Fortasman. 2003. Hal.51
[28] http://www.peradahindonesia.go.id.  Diakses tanggal 1 februari 2008
[29] Hadari Nawawi. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : gajah Mada Universitas Press. 1987.Hal.63
[30] Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000. Hal.5
[31] Hadari Nawawi. Op. Cit. hal.65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar