Sabtu, 28 April 2012

Demokrasi di Indonesia Tantangan dan Harapan


Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani  yang terdiri dari dua kata yaitu demos dan kratos.Demos yang berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan.dan pengertian demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rayat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang berlaku di negara – negara kota (city state) yunani kuno.demokrasi di tandai dengan munculnya Magna Charta tahun 1215 di inggris. Demokratisasi adalah perubahan politik dari rezim otoritarian ke rezim demokratis, dan sekaligus sebagai tindakan atau gerakan bersama membangun demokrasi. Dalam konteks ini, pemberdayaan politik sangat terkait dengan demokratisasi sebagai sebuah gerakan atau tindakan membangun demokrasi. Yaitu melembagakan demokrasi prosedural (kelembagaan dan aturan main) dan membangun demokrasi substantif baik budaya demokrasi (civic culture) maupun civil society sebagai sebuah idea. Demokrasi prosedural terkait dengan hubungan antara legislatif, esekutif dan yudikatif; pola-pola penyelesaian ekstraparlementer; pemilihan umum, kepartaian, mekanisme pembuatan kebijakan, konstitusi dan lain-lain. Demokrasi substantif terkait dengan sikap dan perilaku demokrasi seperti toleransi, kebersamaan, partisipasi, kompetensi, civic engagement, solidaritas, trust, keterbukaan, kemitraan, antidiskriminasi, dll. Kalangan aktivis gerakan civil society, terutama NGO, tidak terlalu berbelit-belit dan rumit memahami dan memperjuangkan demokrasi. Dalam kacamata mereka target demokrasi adalah terbentuknya pemilihan umum yang bebas dan fair, kekebasan warga dan media massa, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, partisipasi warga masyarakat dalam pemerintahan, terjaminnya hak-hak sipil dan politik rakyat, dan lain-lain. Untuk memperjuangkan itu semua, aktivis NGO menempuh jalan menggelar pendidikan politik, membangun organisasi masyarakat sipil, mengembangkan jaringan multiarah, dan sebagainya. Namun dalam bilik literatur ilmu politik perdebatan demokratisasi sangat rumit dan bervariasi. Studi demokratisasi bagaikan rimba belantara. Dalam literatur, gerakan demokratisasi sering disebut konsolidasi demokrasi. Konsolidasi, secara normatif, merupakan upaya memelihara stabilitas dan presistensi demokrasi. Pada dasarnya konsolidasi bisa ditafsirkan sebagai proses pencapaian legitimasi yang luas dan dalam, sedemikian hingga semua aktor politik, pada level elite maupun massa, percaya bahwa rezim demokratis adalah yang paling benar dan tepat bagi masyarakat mereka, lebih baik ketimbang alternatif realistis lain yang bisa mereka bayangkan. Para pesaing politik harus memegang teguh demokrasi (hukum-hukum, prosedur-prosedur, dan institusi-institusi yang ditetapkannya) sebagai satu-satunya permainan, satu-satunya kerangka kerja yang layak untuk mengatur masyarakat dan memajukan kepentingan mereka sendiri. Pada level massa, harus ada suatu konsensus normatif dan perilaku yang luas -- yang melintasi kelas, etnis, kebangsaan, dan pemisahan-pemisahan lainnya -- tentang legitimasi sistem konstitusional (Scott Mainwaring, Guillermo O’Donnell dan Samuel Valenzuela 1992; Juan J. Linz & Alfred Stepan, 1996; Larry Diamond, 1999). Legitimasi dalam pengertian ini melibatkan lebih dari komitmen normatif. Ia harus juga ditunjukkan dalam sikap dan perilaku. Konsolidasi mencakup, apa yang oleh Dankwart Rustow (1970) disebut “pembiasaan", dimana norma-norma, prosedur-prosedur, dan harapan-harapan tentang demokrasi menjadi terinternalisasi sehingga para aktor secara rutin, secara instinktif mencocokkan diri dengan aturan-aturan permainannya yang tertulis (dan tak tertulis), bahkan ketika mereka berkonflik dan bersaing secara intens. Komitmen yang dalam pada demokrasi dan prosedur-prosedurnya pada level elite dan massa yang menghasilkan sebuah elemen konsolidasi yang krusial. Konsolidasi demokrasi, karenanya, hanya bisa dipahami secara penuh sebagai suatu pergeseran dalam kultur politik. Lantas model demokrasi macam apa yang hendak dikonsolidasikan, diinternalisasikan dan dipercaya oleh seluruh elemen masyarakat? Bicara tentang model demokrasi, orang biasanya sudah terpola dengan model demokrasi liberal-perwakilan ala Barat. Demokrasi, menurut model ini, diukur dengan bekerjanya tiga nilai penting: kontestasi (kompetisi), liberalisasi dan partisipasi. Ketiganya disandarkan pada prinsip kebebasan individu, khususnya kebebasan untuk (freedom for). Secara prosedural kompetisi, liberalisasi dan partisipasi dilembagakan dalam pemilihan dan lembaga perwakilan. Setiap individu bebas berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan publik baik esekutif maupun lembaga perwakilan (legislatif) melalui proses pemilihan.   Setiap individu bebas berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara bebas tanpa tekanan, ancaman atau mobilisasi. Prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan liberal ini. Di sisi lain, untuk menjamin kebebasan kompetisi dan partisipasi, sangat diperlukan liberalisasi, atau sebuah jaminan hukum atas penggunaan hak-hak politik setiap individu. Artinya setiap orang harus bebas untuk berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh informasi dari pers yang bebas dan lain-lain. Proses pemilihan sebagai sebuah wadah kompetisi dan partisipasi harus berjalan secara bebas dan fair, yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan asas luber dan jurdil. Model demokrasi seperti itu dianggap universal dan cenderung diadopsi atau diterapkan secara seragam di seluruh dunia. Ini kekacauan yang luar biasa. Tetapi dalam tradisi pemikiran dan praktik empirik, model demokrasi liberal-perwakilan itu tidak luput dari banyak kritik. Ada sebuah pandangan partikularistik terhadap demokrasi, yang sangat memperhatikan keragaman budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara ketika menyikapi demokrasi. Pandangan ini, menurut kacamata saya, terpilah menjadi dua: pandangan partikularistik berbasis nativisme dan pandangan partikularistik berpijak comunitarianisme. Kaum nativis umumnya antiliberal, anti-Barat dan menjunjung tinggi semangat keasilan, tetapi tidak didukung oleh argumen yang kuat secara logis, historis dan sosilogis. Mereka sering melontarkan berbagai wacana yang menipiskan harapan akan demokrasi: “demokrasi itu produk Barat”, “demokrasi itu pikiran orang Yahudi”, “demokrasi itu tidak sesuai dengan Islam”, “demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia”, “demokrasi hanya menimbulkan anarkhisme”, “demokrasi justru menjadi penyebab perpecahan bangsa”, “demokrasi itu ngayawara kalau rakyat masih miskin”, dan lain-lain. Bagi saya sederet wacana itu adalah mitos yang menyesatkan. Demokrasi, seperti halnya Pancasila, tidak harus dikatakan, melainkan untuk dipraktikkan. Banyak orang Indonesia yang tidak mengerti apa itu Pancasila, tetapi mereka dalam kehidupan sehari-hari mempraktikkan Pancasila dengan lebih baik ketimbang para pejabat tinggi bergelar “Manggala” yang biasa memberi penataran P-4. Nenek moyang Indonesia pada masa lalu telah mempraktikkan daily-life democracy tanpa harus mengatakan secara lateral apa itu demokrasi.
Pandangan nativisme itu tidak cukup “arif” dan memadai untuk membangun demokrasi, apalagi penganut pandangan itu tidak mempunyai solusi politik yang lebih cerdas ketimbang pandangan demokrasi universal. Karena itu, yang lebih “arif”, adalah pandangan demokrasi partikularistik yang berhaluan comunitarian. Pandangan partikularistik-comunitarian ini yakin bahwa pratik demokrasi tidak bisa diseragamkan di berbagai negara, karena konteks budaya, struktur sosial dan sejarah yang berbeda-beda. Mohamad Hatta termasuk pendukung pandangan itu. Dalam merumuskan demokrasi, pandangan partikularistik-komunitarian tidak berpijak pada kebebasan individual tetapi pada komunitas secara kolektif untuk mencapai kebaikan bersama. Pandangan communitarian justru lahir sebagai kritik terhadap teori demokrasi liberal. Dua penganut demokrasi communitarian, Barber dan Walzer, menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan civic virtue. Artinya, semangat individualisme liberal itu tidak mampu memberikan landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi komunitas. Penganut communitarian yakin bahwa rakyat pada dasarnya selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung menciptakan alineasi partisipasi publik dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Kaum comunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu melainkan penghargaan individu kepada otonomi individu lainnya serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.
Berbeda dengan tradisi demokrasi liberal yang diformalkan dengan wadah lembaga-lembaga politik, gagasan demokrasi communitarian tersebut tidak terlalu berpikir tentang prosedur formal dalam lembaga-lembaga politik, melainkan terfokus pada everyday life democracy yang secara substantif dapat ditanamkan dalam wadah komunitas lokal. Oleh karena itu gagasan demokrasi communitarian akan dipraktikkan secara beragam dan partikularistik sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat setempat.

I.                   Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Namun setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak
cocok dan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan
semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga
pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950.
Dampak Demokrasi Liberal dalam pemerintahan:
a.                                Pembangunan tidak berjalan lancar karena Kabinet selalu silih berganti,
karena masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai
atau golongannya.
b.                                Tidak ada partai yang dominan maka seorang kepala negara terpaksa
bersikap mengambang diantara kepentingan banyak partai. Maka
pengambil keputusan itu menjadi tidak ada.. Karena tidak ada partai yang
pionir (pelopor), istilah Bung Karno Ini membahayakan untuk negara yang
berkembang.
c.                                Dalam sistem multipartai tidak pernah ada lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif yang kuat, sehingga tidak ada pemerintahan yang efektif.
Dampak Demokrasi Liberal dalam masyarakat:
a.       Munculnya pemberontakan di berbagai daerah
(DI/TII, Permesta, APRA, RMS)
b.      Memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan yang ada saat itu.
Beberapa permasalahan yang muncul pada masa Demokrasi Liberal:
a.       perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat mengalami jalan buntu.
b.      yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
c.       Krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan.
d.      krisis ekonomi
e.       Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
f.       Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia

II.                Desentralisasi dan Otonomi
Demokratisasi dan desentralisasi merupakan dua sisi dalam sebuah mata uang, yang bersandar pada pinsip pembagian kekuasaan yang ujungnya adalah kedaulatan rakyat. Demokratisasi dan desentralisasi juga terkait dengan semangat membawa negara lebih dekat ke rakyat. Di satu sisi demokratisasi mengharuskan desentralisasi, yaitu devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal (daerah sampai desa), dari negara ke masyarakat. Desentralisasi mengharuskan pengurangan peran dan intervensi negara ke masyarakat lokal, serta pelibatan secara luas partisipasi masyarakat dalam urusan publik. Desentralisasi yang menghasilkan otonomi (daerah dan desa), memungkinkan masyarakat lokal mengelola pemerintahan sendiri (self-governing), membuat keputusan, mengelola sumberdaya lokal serta menyelesaikan persoalan lokal secara mandiri. Di sisi lain, otonomi (daerah dan desa) harus didukung demokrasi lokal yang kuat, sebab otonomi tanpa demokrasi hanya akan menimbulkan pemindahan sentralisasi maupun korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Demokrasi di tingkat lokal, dengan demikian, menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah lokal, partisipasi masyarakat dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah.
Baik demokratisasi dan desentralisasi tentu saja menjadi komitmen kemanusiaan, internasional dan masyarakat lokal. Komitmen dan tekanan global, secara historis, menimbulkan sebuah gelombang desentralisasi politik di seluruh dunia sejak 1970-an. Akan tetapi, gerakan untuk pemindahan kekuasaan menghadapi resistensi yang kuat dari birokrasi pemerintah pusat yang mengakar-kuat, para pejabat nasional yang cemas, ideologi sentralistik dan statis yang masih melekat, dan tradisi historis kekuasaan negara tersentralisir yang berasal dari kekuasaan masa lampau, Di luar rintangan-rintangan ini, pemerintahan lokal yang efektif memerlukan sumber daya untuk menciptakan struktur administrasi dan representasi mereka sendiri dan untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik bagi warganya. Sumber daya ini mahal di negara-negara miskin, yang telah merasakan perlunya untuk mengkonsentrasikan kekuasaan dan menerapkan otoritas dalam rangka memicu pembangunan dan menjamin distribusi yang lebih merata.
Bagaimana kita dapat menjelaskan lebih suksesnya demokrasi pada skala yang sangat kecil? Bagaimana desentralisasi dapat membantu memperdalam demokrasi di negara-negara yang lebih besar? Larry Diamond (1999), misalnya, menyatakan secara cerdas bahwa pemerintahan lokal dapat memupuk vitalitas demokrasi dalam lima cara luas yang tumpang-tindih. Pertama, ia membantu mengembangkan nilai-nilai dan ketrampilan demokratis di kalangan warga. Kedua, ia meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan dan urusan lokal. Ketiga, ia memberikan saluran akses tambahan ke kekuasaan bagi kelompok yang secara historis termarjinalkan dan karenanya meningkatkan representativitas demokrasi. Keempat, ia meningkatkan check and balances terhadap kekuasaan di pusat. Kelima, ia memberikan peluang bagi partai-partai dan faksi-faksi oposisi di pusat untuk menerapkan sejumlah kekuasaan politik. Masing-masing fungsi ini meningkatkan legitimasi dan stabilitas demokrasi.

III.             Tantangan dan Harapan
Amartya Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan
hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program
yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu
belum terjadi secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum
memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus
dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara
ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam
proses demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa
Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan
demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.
Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan
bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main.
Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam
undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi,
berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak
sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi
menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar
mereka bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan
mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini
adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.
Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu
menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu
sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya
menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab
mandulnya demokrasi di Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan bagi
demokrasi di Indonesia. Anarkisme ini merupakan bom waktu era Orde Baru yang
meledak pada saat ini. Anarkisme pada saat ini seolah-olah merupakan bagian dari
demonstrasi yang sulit dielakkan, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme
justru bertolak belakang dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat
sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi
bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu
mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan
pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah
kesehatan dan pendidikan.
Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di
negara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat
merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan
berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti
Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu
mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme
maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta
bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang
peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan
rakyat akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari
implementasi demokrasi itu sendiri.
Di masa transisi ini, implementasi demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam
berpolitik, sedangkan masalah ekonomi masih terpinggirkan. Maka muncul kepincangan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik dan ekonomi adalah dua sisi yang
berbeda dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat
perhatian yang serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi.
Semakin rendahnya tingkat kehidupan ekonomi rakyat akan berdampak buruk bagi
demokrasi karena kuatnya bidang politik ternyata belum bisa mengarahkan kepada
perbaikan ekonomi. Melemahnya ekonomi akan berdampak luas kepada bidang lain,
seperti masalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang lemah jelas tidak bisa
memperkuat demokrasi, bahkan justru bisa memperlemah demokrasi.
Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang
memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat
mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan
mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan
partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar